Jumat, 13 November 2020

 

TUGAS MATA KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK

OUTLINE PENELITIAN

 

PENGARUH CARA PENGEMASAN SERTA UMUR SIMPAN TERHADAP KUALITAS DENDENG SAPI GILING

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sri Wahyuni  

C1071191059

 

 

 

 

 

 

 

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2020







A.    Latar Belakang

Daging merupakan jaringan otot hewan tersusun atas air, lemak, protein, karbohidrat dan komponen anorganik. Zat-zat nutrisi ini sangat dibutuhkan oleh manusia, namun juga merupakan media pertumbuhan  yang sangat baik bagi mikroba mudah sekali mengalami kerusakan mikrobiologi karena kandungan gizi dan kadar airnya yang tinggi, serta banyak mengandung vitamin dan mineral. Daging dan produk olahannya merupakan pangan yang bersifat perishable food (pangan mudah rusak) karena sangat rentan terkontaminasi oleh mikroorganisme  pembusuk maupun mikroorganisme patogen.  Beberapa tanda-tanda kerusakan pada daging di antaranya adalah perubahan warna, bau (berbau busuk), terbentuknya lendir dan perubahan rasa (menjadi asam), sehingga diperlukan suatu treatment untuk menghambat perkembangbiakan mikroorganisme salah satunya adalah menurunkan kadar air yang terdapat pada daging dan dapat disimpan di suhu kamar yang dikenal dengan istilah produk pangan setengah basah atau Intermediate Moisture Food (IMF).

Bahan pangan setengah basah yang berasal dari daging merupakan bagian dari kelompok bahan pangan setengah basah yang dikenal dengan istilah Intermediate Moisture Meat (IMM). Bahan pangan setengah basah atau IMF dan IMM merupakan bahan pangan yang memiliki kadar air  dalam kisaran antara 20 – 40% dengan  nilai  aktivitas  air  (aw)  0,6 0,9 tidak memerlukan penyimpanan dingin, stabil dalam suhu kamar dan perkembangbiakan mikroorganisme terhambat. Dendeng merupakan bahan pangan semi basah (IMF) yang mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi, dan tidak terlalu rendah, yaitu pada kisaran 15-50%  (Winarno, 1993). Menurut Soeparno (1988), dendeng merupakan salah satu produk daging kering yang telah banyak dibuat di Indonesia dan mempunyai masa simpan lebih dari 6 bulan dengan kadar air kira-kira 15- 20% dan pH 4,5-5,1. Di Indonesia, dendeng biasanya dibuat dari daging sapi, akan tetapi dapat  juga dibuat dari jenis daging yang lain, seperti ayam, kambing, dan babi.

Pengemasan    disebut    juga    pembungkusan,    pewadahan,    atau pengepakan,  memegang  peranan  penting  dalam  pengawetan  bahan  hasil pertanian.  Adanya  pembungkus  dapat  mengurangi  kerusakan,  melindungi bahan   pangan   dari   pencemaran   dan   gangguan   fisik   seperti   gesekan, benturan,  dan  getaran,  serta  memudahkan  penyimpanan,  pengangkutan, dan distribusi (Syarief et. al., 1989).

Adapun hal-hal yang dapat mempengaruhi daya simpan suatu produk pangan setengah basah adalah sebagai berikut :

a.       Interaksi  antar  komponen  dalam  sistem pangan  tersebut.

b.      Proses  produksi  yang  digunakan.

c.       Permeabilitas kemasan  terhadap  cahaya,  kelembaban  (air),  dan  gas.

d.      Disribusi antara waktu dan suhu pada saat penyimpanan dan transportasi.

Pangan  semi  basah  apabila  dilihat  dari  substratnya sudah  bersifat mengawetkan, tetapi dengan pengemasan yang baik dapat memperpanjang masa simpan tanpa menguranggi kualitas kimia dari dendeng terutama kadar protein, kadar lemak dan kadar air, sehingga dihasilkan produk dendeng yang bersih, sehat dan bergizi. Dengan pengemasan yang baik juga berperan  dalam  pemasaran dan meningkatkan nilai jual dendeng tersebut.

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperpanjang umur simpan produk adalah menggunakan pengemasan plastik secara vakum (Renate, 2009). Pengemasan vakum merupakan salah satu aplikasi teknologi pengemasan dengan menggunakan kantong plastik vakum (vacuum pack). Dalam kondisi vakum, serangga dan mikroorganisme aerobik akan mati dengan sendirinya akibat habisnya oksigen dan meningkatnya konsentrasi CO2 yang dihasilkan selama respirasi serangga dan mikroorganisme maupun produk bahan (Syarif dan Irawati, 1991). Selain itu kemasan vakum juga memberikan efek visual yang baik bagimakanan. Sifat-sifat permeabilitas kemasan plastik ini akan mempengaruhi produk yang akan disimpan secara vakum.

 


 

B.     Rumusan Masalah

1.    Mengapa dendeng yang dikemas baik dapat memperpanjang umur simpan dendeng?

2.    Bagaimana kandungan kadar protein, kadar lemak, kadar air terhadap cara pengemasan dendeng sapi giling?

 

 


 

C.    Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian tentang pengaruh cara pengemasan serta umur simpan terhadap kualitas dendeng sapi giling sehingga dapat dipasarkan di toko kecil. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati kadar protein, kadar lemak, kadar air terhadap cara pengemasan dendeng sapi giling.


 

D.    Metode Penelitian

1.      Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 2 – 12 November 2020, bertempat di Laboratorium Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Tanjung Pura Pontianak, Kalimantan Barat.

 

2.      Alat

Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah mesin penggiling kasar, food processor/belender , pisau, telenan, timbangan analitik, saringan, baskom/wadah, cetakan logam/loyang , oven, wajan, spatula, tissue, kertas label dan mesin vakum makanan.

 

3.      Bahan

Bahan penelitian ini adalah daging sapi (daging segar) sebanyak 1 kg yang diperoleh dari rumah potong hewan ruminansia  (RPHR) Nipah Kuning Kota Pontianak, gula merah, ketumbar, bawang putih, bawang merah, lengkuas, garam, merica, asam jawa dan tepung tapioka.

Bahan lainnya yang digunakan untuk penelitian yaitu plastik PP dengan ketebalan 0,05 mm, plastik PE (Pelietilen) dengan ketebalan            0,05 mm,  plastik campuran PE dan Nylon tebal 0,08 mm (foodgrade).

 

4.      Cara Kerja

Prosedur penelitian dimulai dari pembuatan dendeng giling yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a.       Haluskan semua bumbu menggunakan blender (untuk ketumbar ditumbuk kasar).

b.      Giling daging menggunakan penggiling daging kasar, kemudian campur daging giling dengan bumbu dan tepung tapioka yang sudah disiapkan, kemudian simpan didalam lemari pendingin atau suhu sekitar 4C selama 4 jam, agar bumbu dapat meresap secara maksimal ke seluruh bagian daging.

c.       Letakan campuran daging giling pada loyang dan tipis-tipiskan dengan ketebalan kurang lebih 2-3 mm sehingga berbentuk tembaran.

d.      Setelah itu proses pengeringan, pengeringan daging dapat menggunakan oven (160C selama 15 menit) sehingga menghasilkan dendeng setengah matang agar dendeng lebih mudah dipotong.

e.       Potong lembaran dendeng sesuai ukuran untuk kebutuhan penelitian sehingga didapat potongan-potongan dendeng.

f.        Setelah dipotong proses pengeringan terakhir  dapat menggunakan oven (200C selama 10 menit) dan dibolak balik agar kedua sisi matang secara merata. Dendeng siap untuk dilakukan penelitian.

 

Kemudian dendeng disimpan pada suhu ruang (untuk kota pontianak pada siang hari dapat mencapai 30°C untuk memberi gambaran apabila dendeng di jual di toko kecil) yang dikelompokan masing-masing menjadi 4 hari, 6 hari, 8 hari dan 10 hari dengan desain perlakuan sebagai berikut :

D0 : Dendeng tanpa dikemas (Kontrol)

D1 : Dendeng + plastik PP (Polipropilen) dengan ketebalan 0,05 mm

D2 : Dendeng + plastik PE (Pelietilen) dengan ketebalan 0,05 mm

D3 : Dendeng + plastik campuran PE dan Nylon tebal 0,08 mm

D4 : Dendeng + plastik campuran PE dan Nylon tebal 0,08 mm + di vakum

 

5.      Parameter Penelitian.

Parameter dalam penelitian ini adalah kualitas kimia dendeng daging sapi yang meliputi kadar protein, kadar lemak dan kadar air.

 

6.      Metode

Rancangan percobaan yang akan digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK).


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adnan, M., (1982), Aktivitas air dan Kerusakan Bahan Makanan, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, Yogyakarta.

Alamsyah Rizal, Putiati Mahdar, Muliandi. 1995. Pendugaan Umur Simpan Dendeng Sapi Giling Dengan Aplikas Kinetika Arrhenius, Journal of           Agrobased Industry, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Vol. 12, No. 1-2, pp. 5-8, 1995.

Inayati, Devi dkk. 2019. Karakteristik Fisikokimia, Organoleptik Dendeng Ikan Gabus (Channa Striata ) Dengan Variasi Jenis Tepung. Jurnal Universitas Semarang.

Istihastuti T, Nazory D, dan Drajat S. 1998. Pengaruh pengemasan (Vakum dan Nonhampa udara) terhadap umur simpan dendeng belut (Fluata alba). Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan Vol. VIII No. 2. Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BBPMHP). Jakarta.

LI, Tiancheng., Peng Zhou, dan Theodore P. Labuza. 2009. Effect of Sucrose Crystallization and Moisture Migration on the Structural Changes of a Coated Intermediate Moisture Food. International Journal Chem, Eng, China Vol. 3 No. 4 (346).

Muliandi, (1994), Aplikasai Kinetika Untuk Pendugaan Umur Simpan Dendeng Sapi Giling, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.

Soeparno, (1992), Ilmu dan Teknologi Daging, Fakultas Peternakan, UGM, Yogyakarta.

Sugiarto, Pengaruh Cara Pengemasan Terhadap Kualitas Dendeng Giling Daging Sapi. Jurnal Ilmiah Agrisains, Universitas Tadulako, Palu.

Syarief, R.S. Santausa dan B. Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium. Rekayasa Proses Pangan Pusat Antar Universitas dan Gizi IPB, Bogor.

Winarno F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.

 

 

 

Kamis, 12 November 2020

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK PANGAN SETENGAH BASAH

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK

 

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK PANGAN

SETENGAH BASAH

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sri Wahyuni  

C1071191059

 

 

 

 

 

 

 

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2020










KATA PENGANTAR

Alhamdulillah,  puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Teknologi Pengolahan Pangan Setengah Basah” dengan baik. Penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada Ibu Retno Budi Lestari,M.Sc dan Bapak Edi Permady, S.Pt.,M.Sc. selaku dosen pengampu mata kuliah Teknologi Hasil Ternak yang telah membimbing selama masa perkuliahan.  

Makalah ini dibuat sebagai syarat kelulusan mata kuliah Teknologi Hasil Ternak. Penulis menyadari makalah ini memiliki kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan yang membangun demi perbaikan makalah ini.

 

 

 

Pontianak,   Oktober 2020

 

 

Penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR.. i

DAFTAR ISI. ii

DAFTAR GAMBAR.. iv

DAFTAR TABEL.. v

DAFTAR LAMPIRAN.. vi

I. PENDAHULUAN.. 1

A.    Latar Belakang. 1

B.    Rumusan Masalah. 2

C.    Tujuan. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA.. 3

A.    Pangan Setengah Basah atau Intermediate Moisture Foods (IMF) 3

1.     Definisi dan Karakteristik. 3

2.     Teknologi Pengolahan IMF. 4

B.    Isotermi Sorpsi Air (ISA) 5

C.    Humektan. 7

D.    Pengeringan. 9

E.    Pengemasan dan Penyimpanan. 11

F.    Kelebihan dan Kekurangan Pengolahan Produk IMF. 13

1.     Kelebihan. 13

2.     Kekurangan. 14

III. PEMBAHASAN.. 15

A.    Produk Pangan Setengah Basah Yang Berasal Dari Daging. 15

B.    Produk Daging IMF. 17

1.     Abon. 17

2.     Daging Asap. 17

3.     Dendeng. 18

4.     Blitong. 19

5.     Jerky. 19

6.     Danbunama. 20

7.     Kilishi 20

8.     Charqui 21

9.     Pemmican. 22

C.    Dendeng. 22

1.     Dendeng Sapi 24

2.     Dendeng Ayam.. 26

3.     Dendeng Ikan. 27

D.    Proses Pengolahan Dendeng. 27

1.     Alat dan Bahan. 27

2.     Cara Membuat 28

E.    Masa Simpan Dendeng. 31

BAB IV. KESIMPULAN.. 32

DAFTAR PUSTAKA.. 33

LAMPIRAN.. 35

 

 


 

DAFTAR GAMBAR

 

 

Gambar 1. Kurva Isotermi Sorpsi Air Pada Bahan Pangan (deMan, 1989) 6

Gambar 2. Stabilitas Bahan Pangan Sebagai Fungsi Aw (Fennema, 1996) 6

Gambar 3. Protein Penyusun Jaringan Otot 15

Gambar 4. Pembuatan Abon.................................................................................. 17

Gambar 5. Daging Asap........................................................................................ 18

Gambar 6. Dendeng Sayat dan Dendeng Giling.................................................... 18

Gambar 7. Blitong................................................................................................. 19

Gambar 8. Jerky..................................................................................................... 19

Gambar 9. Danbunama.......................................................................................... 20

Gambar 10. Klishi ................................................................................................. 21

Gambar 11. Charqui............................................................................................... 21

Gambar 12. Pemmican........................................................................................... 22

Gambar 13. Proses Pengeringan Daging Menggunakan Oven.............................. 29

Gambar 14. Proses Pemotongan Dendeng Giling................................................. 30

Gambat 15. Dendeng Sapi Dalam Kemasan.......................................................... 31

 

 


 

DAFTAR TABEL

 

 

Tabel 1. Nilai Aktivitas Air (aw) Minimun Mikroba Yang Sering Terdapat Pada Pangan Semi Basah  14

Tabel 2. Syarat Mutu Dendeng Berdasarkan SNI 01-2908-1992. 24

Tabel 3. Komposisi daging sapi dan dendeng sapi tiap 100 gram bahan.............. 25

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR LAMPIRAN

 

Lampiran 1. Gambar Makalah .............................................................................. 35

 


I. PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Seiring perkembangan jumlah penduduk, kebutuhan konsumsi akan makanan dan minuman semakin meningkat. Sebagian besar konsumsi masyarakat yang dibutuhkan harus mengandung gizi seperti karbohidrat, vitamin, dan protein. Protein terdiri dari dua jenis yaitu protein nabati dan hewani. Salah satu sumber protein hewani adalah daging yang terdiri dari kumpulan sel berbentuk serat tersusun atas filamen protein yaitu aktin dan miosin yang disebut juga sebagai jaringan otot. Jaringan otot hewan tersusun atas air, lemak, protein, karbohidrat dan komponen anorganik. Zat-zat nutrisi ini juga merupakan media pertumbuhan  yang sangat baik bagi mikroba.

Daging mudah sekali mengalami kerusakan mikrobiologi karena kandungan gizi dan kadar airnya yang tinggi, serta banyak mengandung vitamin dan mineral. Daging dan produk olahannya merupakan pangan yang bersifat perishable food (pangan mudah rusak) karena sangat rentan terkontaminasi oleh mikroorganisme  pembusuk maupun mikroorganisme patogen.  Beberapa tanda-tanda kerusakan pada daging di antaranya adalah perubahan warna, bau (bau menjadi tengik atau berbau busuk), terbentuknya lendir,rasa (menjadi asam), sehingga diperlukan suatu treatment untuk menghambat perkembangbiakan mikroorganisme salah satunya adalah menurunkan kadar air yang terdapat pada daging dan dapat disimpan di suhu kamar yang dikenal dengan istilah produk pangan setengah basah atau Intermediate Moisture Food (IMF).

Bahan pangan setengah basah yang berasal dari daging merupakan bagian dari kelompok bahan pangan setengah basah yang dikenal dengan istilah Intermediate Moisture Meat (IMM). Bahan pangan setengah basah atau Intermediate Moisture Food  (IMF) dan Intermediate Moisture Meat (IMM) merupakan bahan pangan yang memiliki kadar air  dalam kisaran antara 20 – 40% dengan  nilai  aktivitas  air  (aw)  0,6 0,9 tidak memerlukan penyimpanan dingin, stabil dalam suhu kamar dan perkembangbiakan mikroorganisme terhambat.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan produk pangan setengah basah atau  Intermediate Moisture Food (IMF) ?

2.      Apa saja contoh bahan pangan setengah basah yang berasal dari daging ?

3.      Apa saja humektan dalam pembuatan produk pangan setengah basah?

 

C.    Tujuan

1.      Agar mahasiswa dapat mengetahui proses pembuatan produk pangan setengah basah.

2.      Agar mahasiswa dapat mengtahui jenis jenis produk pangan setengah basah.

3.      Agar mahasiswa dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan produk pangan setengah basah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pangan Setengah Basah atau Intermediate Moisture Foods (IMF)

1.      Definisi dan Karakteristik

Menurut Soekarto (1979) pangan setengah basah atau Intermediate Moisture Food (IMF) merupakan bahan pangan yang memiliki kadar air          10-40%  dengan  nilai  aktivitas  air  (aw)  0,6 0,9  serta  mempunyai  tekstur  yang plastis  sehingga  memungkinkan  IMF  dapat  dibentuk  dan  dapat  langsung dimakan.  Definisi  IMF  lainnya  dikemukakan  oleh  Robson  (1976),  yaitu produk  IMF  umumnya  mempunyai  nilai  aw  pada  kisaran  0,65-0,85  dan berkadar air sekitar 15-30%. Sesuai dengan namanya “semi basah”, maka jenis pangan ini bersifat cukup  basah  sehingga  dapat  langsung  dimakan  tanpa  direhidrasi dan juga cukup kering sehingga stabil selama penyimpanan. Menurut beberapa penelitian memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai kadar air yang terdapat pada bahan pangan setengah basah. Kadar air dari IMF menurut Nuriningsih (2008) dan Nopwinyuwong (2010) adalah 15-50%. Namun menurut Basuki (2013) kadar air dari IMF adalah antara 10-40%. Rentang aktifitas air (aw) dari IMF menurut Nopwinyuwong (2010) adalah antara 0,60 – 0,85. Namun menurut Basuki (2013) rentang aw dari IMF adalah antara 0,6 – 0,9.

Bahan pangan setengah basah memiliki ciri-ciri antara lain, tidak memerlukan penyimpanan pada suhu dingin, stabil dalam penyimpanan suhu kamar, perkembangan mikroorganismenya terhambat serta memiliki aktivitas air (aw) 0,60-0,80 (Purnomo, 1996). Dengan kadar air yang cukup rendah membuat  pertumbuhan  bakteri tidak  efektif,  karena  bakteri  tumbuh pada  aw di  atas  0.90.  Demikian  juga  untuk  pertumbuhan  khamir  yang bersifat patogen. Hal ini adalah suatu keuntungan dari IMF menjadi stabil terhadap pertumbuhan mikroba, tahan disimpan tanpa memerlukan proses pengawetan yang lain seperti pendinginan, sterilisasi ataupun pengeringan. Hal  ini  juga  ditunjang  oleh  kondisi  substrat  dari  pangan  semi  basah  yang bersifat sebagai pengawet.

Intermediate Moisture Meat (IMM) merupakan bagian dari IMF dengan bahan baku berasal dari daging yang memiliki kadar air antara 20-40 %, tidak memerlukan penyimpanan dingin, stabil dalam suhu kamar dan perkembangbiakan mikroorganisme terhambat. Menurut  Taoukis et.  al.  (1999)  karakteristik  produk  IMF  memiliki beberapa   keunggulan   dibandingkan   produk   kering   konvensional   atau makanan   dengan   kadar   air   tinggi.   Proses   pengolahan IMF   secara signifikan   lebih   hemat   energi   dibandingkan   pengeringan,   refrigerasi, pembekuan  atau  pengalengan. Beberapa pangan tradisional   merupakan   pangan   yang   diolah   dengan   teknologi   IMF tradisional. 

2.      Teknologi Pengolahan IMF

Cara  pengolahan  IMF  terutama  didasarkan  pada  penurunan  nilai kadar  air  diikuti  aktifitas  air  (aw)  sampai  tingkat  mikroba  patogen  dan pembusuk tidak tumbuh, tetapi kandungan airnya masíh cukup. Karel (1976) menggolongkan IMF menjadi dua tipe, yaitu tradisional dan   modern.   Beberapa   IMF   tradisional   adalah   hasil   olahan   tanpa penambahan   humektan,   hasil   olahan   dengan   penambahan   gula,   dan hasil olahan dengan penambahan gula dan garam.

a.       IMF Berdasarkan Cara Pengolahannya

Berdasarkan cara pengolahannya IMF modern dibagi lagi menjadi tiga tipe, yaitu :

1)        Pencelupan basah (moist infution), dimana bahan pangan padat direndam dalam larutan sehingga  produk akhirnya mempunyai nilai  aw seperti  yang  diinginkan. 

2)        Pencelupan   kering   (dry infution), dimana bahan pangan mula-mula  didehidrasi kemudian direndam dalam larutan osmotik sampai tingkat aw yang diinginkan misalnya manisan buah.  Proses  ini  memerlukan energi  lebih  tinggi  dari metode yang lain, tetapi menghasilkan produk yang berkualitas tinggi.

3)        Pencampuran (blending) dimana komponen-komponen bahan  pangan ditimbang, dicampur, dimasak dan diekstrusi atau  perlakuan lain seperti pengeringan/penjemuran sehingga mencapai  aw produk  yang  diinginkan  sehingga  menghasilkan  makanan dengan aw tertentu.

b.      Klasifikasi Berdasarkan Teknologi Produksi IMF Modern

Berdasarkan  klasifikasi  teknologi  produksi  IMF  modern  tersebut terdapat  dua  tipe  dasar  pengolahan  IMF  modern  yaitu  adsorpsi  dan desorpsi.  Pada  tipe  adsorpsi,  bahan  pangan  dikeringkan  sambil  dikontrol proses  pembasahan  kembali  sampai  keadaan  yang  diinginkan  sedangkan tipe desorpsi bahan dimasukkan kedalam larutan yang mempunyai tekanan osmotik lebih tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang diinginkan.  Proses  ini  dapat  dipercepat  dengan  menaikkan  suhu  (Robson,1976).

 

B.      Isotermi Sorpsi Air (ISA)

Isotermi   sorpsi   air   menunjukkan   hubungan   antara   kadar   air   bahan dengan equilibrium relative humidity ruang tempat penyimpanan bahan (ERH) atau  aktivitas  air  (aw)  pada  suhu  tertentu  (Syarief  dan  Halid,  1993).  Soekarto (1979)  menyebutkan  bahwa  hubungan  ini  telah  banyak dipakai  pada  banyak lapangan seperti penggudangan, pengeringan, dan pengemasan. Suatu peranan baru  yang  sangat  penting  adalah  penggunaannya  dalam  formulasi  dan  disain pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF). Kurva  isotermi  sorpsi  air  menggambarkan  kadar  air  kesetimbangan dalam    hubungannya    dengan    aktivitas    air    atau    kelembaban    relatif keseimbangan pada suhu tertentu. Bentuk kurva isotermi sorpsi air khas untuk setiap bahan pangan.

 

Gambar 1. Kurva isotermi sorpsi air pada bahan pangan (deMan, 1989)

 

Kurva  di  atas  memperlihatkan  dua  jenis  isotermi  sorpsi  air.  Umumnya istilah isotermi adsorpsi diperlukan untuk pengamatan produk higroskopik dan isotermi    desorpsi    untuk    meneliti    proses    pengeringan.    Kurva    dengan kemiringan  curam  menunjukkan  bahan  bersifat  higroskopik  dan  kurva  yang agak  mendatar  menunjukkan  produk  yang  tidak  peka  terhadap  air  (deMan, 1989).

Aktivitas Air (aw) Kandungan  air  suatu  bahan  pangan  tidak  dapat  digunakan  sebagai indikator  nyata  dalam  menentukan  ketahanan  masa  simpan.  Oleh  karena itu digunakan istilah aktivitas air untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau  bebas  dalam  suatu  sistem  yang  dapat  menunjang reaksi  biologis  dan kimiawi.  Aktivitas  air  memiliki  peranan  penting  dalam  hubungannya dengan  stabilitas  bahan, seperti yang terlihat pada gambar 2.  Aktivitas air atau water activity (aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya  (Syarief dan Halid, 1993).

 

Gambar 2. Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi aw (Fennema, 1996)

C.     Humektan

Prinsip  dasar  pembuatan  IMF  adalah  menurunkan  aw  bahan  sampai mencapai   zone   aw   IMF.   Penurunan   aw   tersebut   dapat   dicapai   dengan mengeringkan   bahan.   Akan   tetapi   produk   kering   biasanya   memerlukan rehidrasi  sebelum  dikonsumsi.  Masalah  tersebut  dapat  diatasi  dengan menggunakan  humektan.  Humektan  adalah  bahan  yang  dapat  menurunkan nilai  aw  tetapi  dapat  mempertahankan  kandungan  air  yang  terdapat  pada produk, serta dapat berfungsi sebagai plasticizer (Taoukis et. al., 1999).

Taoukis et. al.  (1999)  juga  mengatakan  bahwa  terdapat  empat  kategori senyawa higroskopik yang dapat digunakan sebagai humektan adalah sebagai berikut :

1.         Garam (mineral  dan  organik),

2.         Gula 

3.         Poliol  (sorbitol dan gliserol) 

4.         Turunan  protein. 

Menurut  Troller  (1989),  kriteria  pemakaian  humektan  dalam  bahan pangan  yaitu,  aman,  diizinkan  oleh  undang-undang,  efektif  sesuai  dengan konsentrasi penggunaannya, tidak merusak produk pangan, tidak berbau, tidak berwarna   atau   tidak   mengubah   warna   produk   pangan.   Humektan   selain berkemampuan  mengikat  air  dan  menurunkan  aw,  juga  dapat  bersifat  sebagai anti  mikroba  (bacteriostatic dan mycostatic),  memperbaiki  tekstur,  cita  rasa dan dapat meningkatkan nilai kalori.

Poliol termasuk  sorbitol  merupakan  bahan  yang  resisten  terhadap  metabolisme bakteri  di  dalam  mulut.  Bakteri  ini  memecah  gula  dan  pati  menjadi  asam yang  dapat  menyebabkan  kerusakan  lapisan  enamel  gigi.  Sorbitol  juga tahan    terhadap    suhu    tinggi,    sehingga    tidak    menyebabkan    reaksi pencoklatan  (Maillard  Reaction)  (Caloriecontrol,  2006).  Sorbitol  juga banyak  digunakan  sebagai  gula  alternatif  bagi  penderita  diabetes  karena cenderung  tidak  menimbulkan hyperglycaemia (peningkatan  gula  darah). Hal ini disebabkan sorbitol diubah menjadi fruktosa di dalam hati (Hough et. al., 1979).

Gliserol merupakan plasticizer yang tergolong dalam senyawa poliol yang memiliki tiga gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Rumus  kimia  gliserol  adalah  C3H8O3  dengan  berat  molekul  92,10,  massa jenis 1,23 g/cm3 serta titik didihnya 2040C (Winarno, 1992).  Secara alami  gliserol  terdapat  pada    tanaman yaitu  melalui penguraian  fruktosa  difosfat  oleh  enzim  aldosa  menjadi  dihidroksi aseton kemudian direduksi menjadi α-gliserofosfat. Gugus fosfat  dihilangkan melalui proses fosforilasi sehingga terbentuk molekul gliserol  (Winarno, 1992). Aplikasi humektan pada produk IMF ini menggunakan  persamaan  Grover. Humektan  yang  digunakan  adalah  sorbitol dan gliserol.  Berdasarkan  persamaan Grover, aplikasi 10 % sorbitol cukup efektif menurunkan nilai aw produk. Namun setelah  dilakukan  pengukuran  aw  aktual  dengan  aw  meter,  nilai  aktualnya  lebih tinggi  dibanding  nilai  prediksi  dan  nilai  aw  produk  tanpa  humektan. Penggunaan 4% gliserol cukup efektif untuk menurunkan        nilai  aw  produk. 

Penggunaan humektan yang berasal dari turunan protein seperti pati yang tersimpan dalam bentuk butiran (granula) yang kenampakan dan ukurannya beragam. Pati merupakan glukan yang terdiri dari 2 macam fraksi. Granula pati tersusun secara berlapis-lapis mengelilingi nukleus. Granula pati bersifat higroskopis, mudah menyerap air, lembab dan diikuti dengan peningkatan diameter granula. Bahan pengisi yang digunakan pada pembuatan IMF yaitu tepung. Tepung mempunyai jenis beragam dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda yang nantinya akan mempengaruhi hasil akhir olahannya. Perlu dilakukan penelitian untuk menghasilkan karakteristik fisikokimia dan organoleptik IMF yang baik. Jenis tepung yang berbeda sebagai bahan pengisi berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, elastisitas sebelum digoreng, elastisitas sesudah digoreng, sifat organoleptik warna, aroma, rasa, dan kekenyalan (Setyaningtias, 2008).

Beberapa jenis tepung yang sering digunakan dalam pengolahan IMM adalah sebagai berikut :

1.      Tepung Tapioka

Tepung tapioka merupakan bahan pengikat yang mempunyai fungsi untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan daya ikat air, meningkatkan flavor, mengurangi pengerutan selama pemasakan, meningkatkan karakteristik irisan produk, dan mengurangi biaya formulasi.

2.      Tepung Terigu

Tepung terigu merupakan tepung/bubuk halus yang berasal dari biji gandum, dan digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mi dan roti. Kata terigu dalam Bahasa Indonesia diserap dari bahasa Portugis trigo yang berarti gandum.Tepung terigu mengandung banyak zat pati, yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air. Tepung terigu juga mengandung protein dalam bentuk gluten, yang berperan dalam menentukan kekenyalan makanan yang terbuat dari bahan terigu. Tepung terigu memiliki kandungan pati sebesar 65-70%, protein 8-13%, lemak 0,8-1,5% serta abu dan air masing-masing 0,3-0,6% dan 13-15,5%.

3.      Tepung Maizena

Pati jagung tersusun atas 25% amilosa dan 75% amilopektin. Amilosa mendorong proses mekar sehingga produk yang berasal dari pati-patian beramilopektin tinggi bersifat porous, ringan, gating, dan mudah patah (Setyowati, 2006).

 

D.     Pengeringan

Dalam proses pengolahan pangan setengah basah yang berasal dari daging atau IMM dalam mengendalikan aktivitas dan kandungan air selain menggunakan humektan terkadang juga dikombinasikan dengan perlakuan pengeringan atau pengasapan. Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Kadar airnya akan mengalami penurunan dan mengakibatkan kandungan protein di dalam bahan mengalami peningkatan. Selama pengeringan juga terjadi perubahan antara lain warna, rasa, dan aroma   (Cici Rulianti, 2009).

Proses pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air yang ada dalam dendeng sampai cukup rendah, sehingga produk dapat memiliki kadar air tertentu dan dapat disimpan lebih lama. Proses perpindahan panas terjadi karena suhu bahan lebih rendah dari pada suhu udara sekelilingnya. Pada saat pengeringan dimulai uap panas yang dialirkan melalui permukaan bahan kemudian akan menaikkan tekanan uap air (Cici Rulianti, 2009).

Purnomo dan Adiono (1987), menyatakan faktor utama yang mempengaruhi kecepatan pengeringan suatu bahan adalah :

1.      Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi dan kadar air).

2.      Pengaturan geometris produk, sehubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindah panas.

3.      Sifat fisik dari lingkungan alat pengeringan (suhu, kelembaban dan kecepatan udara).

4.      Karakteristik alat pengering.

Pengeringan yang dilakukan dengan suhu yang terlalu tinggi, dapat mengakibatkan case hardening, yaitu suatu keadaan dimana bagian luar (permukaan) bahan sudah kering sedangkan bagian dalam masih basah. Terjadinya case hardening dapat mengakibatkan proses pengeringan selanjutnya lebih lambat. Oleh karena itu pengaturan suhu dan lama pengeringan sangat mempengaruhi mutu bahan yang dikeringkan. Untuk mencegah kerusakan adalah dengan membuat suhu pengeringan tidak terlalu tinggi, atau proses pengeringan awal tidak terlalu cepat.

Afrianto et al (1989), menyatakan bahwa proses pengeringan akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar protein dari produk, hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan konsentrasi ion nitrogen, dimana selama pengeringan berlangsung terjadi pelepasan molekul air oleh protein daging sehingga konsentrasi protein daging meningkat oleh adanya penurunan berat bahan. Karakteristik daging hasil pengolah pangan setengah basah yang memiliki warna coklat kehitaman disebabkan oleh reaksi Maillard. Reaksi ini merupakan reaksi-reaksi antara karbohidrat, khususnya pereduksi dengan gugus amino primer. Hasil tersebut menghasilkan bahan makanan yang berwarna coklat yang biasanya dikehendaki atau kadang-kadang dijadikan sebagian pertanda penurunan mutu (Cici Rulianti, 2009).

Winarno (1997), menyatakan reaksi Maillard akan terjadi bila karbohidrat dipanaskan bersamaan dengan terbentuknya warna coklat pada bahan makanan sehingga menyebabkan penurunan nilai gizi, karena asam amino bebas esensial dan residu asam amino, khususnya lisin, berpartisipasi dalam reaksi Maillard tersebut. Walaupun demikian reaksi Maillard bukan masalah yang serius dalam penurunan nilai gizi bahan pangan.

Menurut Margono (2000), pengeringan dendeng giling daging sapi dengan menggunakan oven dilakukan pada suhu 500C-600C selama 4-6 jam. Menurut Kurniati (2006), suhu pengeringan 600C selama 6 jam menghasilkan dendeng giling ikan patin terbaik. Suhu pengeringan yang dilakukan lebih dari 700C untuk produk-produk ikan akan mengalami kerusakan. Kadar air pada dendeng menjadi berkurang mengakibatkan kandungan senyawa-senyawa protein, karbohidrat, lemak, dan mineral memiliki konsentrasi yang lebih tinggi.

 

E.     Pengemasan dan Penyimpanan

Pengemasan    disebut    juga    pembungkusan,    pewadahan,    atau pengepakan,  memegang  peranan  penting  dalam  pengawetan  bahan  hasil pertanian.  Adanya  pembungkus  dapat  mengurangi  kerusakan,  melindungi bahan   pangan   dari   pencemaran   dan   gangguan   fisik   seperti   gesekan, benturan,  dan  getaran,  serta  memudahkan  penyimpanan,  pengangkutan, dan distribusi (Syarief et. al., 1989).

Adapun hal-hal yang dapat mempengaruhi daya simpan suatu produk pangan setengah basah adalah sebagai berikut :

a.       Interaksi  antar  komponen  dalam  sistem pangan  tersebut.

b.      Proses  produksi  yang  digunakan.

c.       Permeabilitas kemasan  terhadap  cahaya,  kelembaban  (air),  dan  gas.

d.      Disribusi antara waktu dan suhu pada saat penyimpanan dan transportasi.

Pangan  semi  basah  apabila  dilihat  dari  substratnya sudah  bersifat mengawetkan, tetapi dengan pengemasan yang baik akan dapat meningkatkan  keawetannya  dan  berperan  dalam  pemasaran. Menurut  Syarief, dkk. (1989)  produk  yang  bersifat  hidrofilik  harus dilindungi terhadap uap air. Umumnya  produk-produk ini  memiliki  nilai aw  atau  ERH  yang  rendah. Oleh karena  itu produk semacam ini harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai permeabilitas air yang rendah. Beberapa   kemasan   yang dapat digunakan adalah plastik jenis polipropilen dan aluminium foil. Penggunaan plastik    polipropilen dikarenakan  sifatnya  yang  mempunyai  nilai  permeabilitas  uap  air  rendah, tahan suhu tinggi sampai dengan 150C, tahan terhadap  asam kuat, basa, dan   minyak   (Syarief, dkk., 1989). Konstanta permeabilitas plastik polipropilen adalah sebesar 0,12 gram/m2. (Eskin dan Robinson, 2001 dikutip di dalam Histifarina, 2002) Aluminium foil (alufo) bersifat hermetis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. 

Persamaan Arrhenius dapat dibandingkan persamaan mana yang menunjukkan umur simpan yang relatif paling singkat. Dari hasil perhitungan untuk suhu penyimpanan misal 15°C dengan nilai kritis untuk kadar air 19.6%, untuk kandungan oksigen 20.4%, dan untuk kecerahan 40.29 maka diperoleh waktu penyimpanan paling singkat adalah 39 hari yaitu dengan persamaan fungsi dari penyerapan oksigen. Faktor yang paling mempengaruhi umur simpan produk dendeng ini adalah penyerapan oksigen dan dapat dikatakan faktor yang paling kritis terhadap umur simpan dendeng sapi giling. Suhu juga berpengaruh terhadap perubahan mutu dendeng sapi giling selama penyimpanan. Makin tinggi suhu penyimpanan makin singkat umur simpan Derkiraan umur simpan (shelf life) suatu produk merupakan informasi yang sangat diperlukan guna menunjang keamanan dan kesehatan bagi konsumen di samping menunjang daya saing produk dalam menembus pasar (Paine, 1962; Quast and Farel, 1972). Weletzho dan Labuza (1976) menemukan adanya penghambatan laju reaksi pencoklatan nonenzimatik pada kondisi yang bebas oksigen.

Rahadian (1974) mempelajari cara pengeringan,metode pengemasan selama penyimpanan, jenis daging sapi ditinjau dari mutu fisik, kimia, mikrobiologis serta organoleptik. .Penelitian perkiraan umur simpan dendeng sapi giling akan sangat diperlukan guna membantu produsen untuk mengetahui masa kadaluwarsa produk yang dipasarkan dan akan memberikan informasi yang diperlukan dalam pengembangan penelitian lebih lanjut. Pendekatan yang dilakukan dalam percobaan perkiraan umur simpan adalah dengan melibatkan faktor-faktor yang dianggap sangat berpengaruh dalam proses deterioriasi produk seperti faktor peningkatan kadar air, penyerapan oksigen (O2) dan perubahan warna pada pengolahan pangan setengah basah.

 

F.      Kelebihan dan Kekurangan Pengolahan Produk IMF

1.      Kelebihan

Adapun beberapa kelebihan pengolahan porduk IMF adalah sebagai berikut :

a.         Mempunyai  tekstur  yang plastis  sehingga  memungkinkan  IMF  dapat  dibentuk  dan  dapat  langsung dimakan.

b.        Perkembangbiakan mikroorganisme terhambat.

c.         Tidak memerlukan penyimpanan dingin.

d.        Stabil pada suhu kamar.

e.         Dapat dikemas lebih ringkas dan mudah dalam distribusi dari satu tempat ke tempat lainnya.

f.          Menghemat ruangan dan mengurangi biaya dalam penyimpanan.

g.        Tahan lama dan lebih kuat dari cuaca dingin atau panas.

 

Salah satu kelebihan atau keuntungan dari pengolahan produk IMF adalah perkembangan mikroorganisme menjadi terhambat maupun tidak terjadi pertumbuhan bakteri, pada nilai  aw dibawah 0,85.  Beberapa  jenis  kapang  dan  khamir  dapat  tumbuh tetapi  khamir  patogen tidak  dapat  tumbuh  pada  aw  yang  rendah  (Tilbury, 1976).  Beberapa  jenis mikroorganisme yang  potensial dapat  tumbuh  pada IMF dapat dilihat pada Tabel 1.

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 1. Nilai aktivitas air (aw) minimun mikroba yang sering terdapat pada pangan semi basah  

 

2.      Kekurangan

Adapun kekurangan berupa kerusakan protein pada pengolahan Intermediate Moisture Meat (IMM) adalah sebagai berikut :

a.       Hidroksiprolin  (Aw 0,82-0,86) selama penyimpanan pada suhu 38oC, tekstur juga terpengaruh.

b.      Hemoprotein (mioglobin dan hemoglobin) mengalami kerusakan pada IMM yang dibuat dengan metode desorbsi  dan disimpan dapa suhu 38oC.

c.       Dengan adanya gliserol menyebabkan mailard dan menurunkan kemampuan larut protein.

 

 

 


 

III. PEMBAHASAN

 

A.    Produk Pangan Setengah Basah Yang Berasal Dari Daging

Daging merupakan salah satu hasil dari ternak yang memiliki kandungan gizi lengkap yang disukai oleh masyarakat. Daging yang dikonsumsi oleh manusia dapat berasal dari ternak yang berbeda dan dari berbagai jenis hewan, antara lain sapi, kambing, babi, ayam, itik dan ikan.

Daging merupakan protein hewani yang lebih mudah dicerna dibanding dengan protein nabati. Protein terdiri dari dua jenis yaitu protein nabati dan hewani. Salah satu sumber protein hewani adalah daging yang terdiri dari kumpulan sel berbentuk serat tersusun atas filamen protein yaitu aktin dan miosin yang disebut juga sebagai jaringan otot seperti yang terlihat pada gambar 3.

 

Gambar 3. Protein Penyusun Jaringan Otot

 

Sifat fisik daging memegang peranan penting dalam proses pengolahan dikarenakan sifat fisik menentukan kualitas serta jenis olahan yang akan dibuat. Sifat fisik sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum pemotongan dan setelah pemotongan. Faktor penting sebelum pemotongan adalah perlakuan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada ternak. Menurut Aberle et al.(2001), ternak yang tidak diistirahatkan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap, bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi. Faktor penting setelah pemotongan yang berpengaruh pada kualitas daging adalah pelayuan. Pelayuan daging akan berpengaruh pada keempukan, flavor dan daya mengikat air. Faktor-faktor tersebut sangat berkaitan dengan waktu postmortem atau waktu setelah pemotongan.

Proses glikolisis setelah ternak dipotong berpengaruh pada nilai pH. Semakin lama waktu postmortem akan terjadi penurunan pH yang semakin rendah akibat proses konversi otot menjadi daging pada jarak waktu postmortem tertentu. Nilai pH ultimat daging yang normal berkisar antara 5,4-5,8 pada 6 jam postmortem dan warna daging akan menjadi merah cerah (Aberle et al., 2001). Perendaman daging segar tidak hanya dapat meningkatkan kualitas kimiawi, fisik dan sensoris. Alvarado dkk. (2007) mengungkapkan bahwa perendaman / pengasinan daging yang dilakukan pada pH rendah (pH 4) dapat menyebabkan fungsi penghambat bakteri patogen yaitu Listeriamonocytogenes menurut Kamaldeep et al. (2012) merupakan bakteri patogen yang umum ditemukan pada daging sapi. Selain dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen, perlakuan daging yang direndam juga dapat meningkatkan kapasitas daya tampung air produk.

Daging ayam petelur afkir merupakan hasil pemotongan ayam petelur yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Daging ayam petelur afkir masih kurang di manfaatkan oleh masyarakat karena memiliki sifat daging yang lebih liat jika dibandingkan dengan daging ayam potong. Hal ini dikarenakan, seiring  dengan meningkatnya umur ternak maka kadar kolagen di dalamnya akan semakin bertambah (Soeparno, 2005).

Daging ikan mengandung senyawa yang sangat berguna bagi manusia yaitu protein dalam bentuk asam-asam amino essensial 10-19%, lemak dalam bentuk asam lemak tidak jenuh yang paling diperlukan oleh tubuh paling kecil 0,1%, karbohidrat 1-3%, vitamin dan mineral 0,8-2%.

Daging segar memiliki kelemahan, yaitu sangat mudah mengalami kerusakan atau busuk akibat perubahan kimiawi dan kontaminasi mikroba, oleh karena itu diperlukan berbagai cara/metode pengawetan daging agar daging tidak mudah mengalami kerusakan dan menjadi busuk. Pengawetan daging secara tradisional telah lama dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai macam cara teknik pengawetan daging. Pengawetan daging agar dapat disimpan dalam waktu yang lama dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu restrukturisasi, pengolah produk pangan setengah basah Intermediate Moisture Meat (IMM), serta pengolahan produk dingin beku.

Intermediate Moisture Meat (IMM) merupakan bagian dari IMF dengan bahan baku berasal dari daging yang memiliki kadar air antara 20-40 % dengan  nilai  aktivitas  air  (aw)  0.6-0.9, serta  mempunyai  tekstur  yang plastis  sehingga  memungkinkan  IMF  dapat  dibentuk  dan  dapat  langsung dimakan tanpa  direhidrasi, tidak memerlukan penyimpanan dingin, stabil dalam suhu kamar dan perkembangbiakan mikroorganisme terhambat.

 

B.     Produk Daging IMF

Beberapa contoh pengolahan daging menjadi produk pangan setengah basah adalah sebagai berikut :

1.      Abon

Abon merupakan produk pangan IMF yang berasal dari daging cincang yang telah dihaluskan, dididihkan, dan kemudian digoreng. Penampilanya biasanya berwarna cokelat terang hingga kehitaman. Abon tampak seperti serat, karena didominasi oleh serat-serat otot yang mengering. Daging yang biasa digunakan untuk membuat abon berasal dari sapi, sehingga orang mengenal 'abon sapi'. Sumber lain yang digunakan adalah ayam atau babi. Pembuatan abon dapat dilihat pada gambar 4.

 

   

Gambar 4. Pembuatan Abon

2.      Daging Asap

Daging asap merupakan produk pangan IMF yang berasal dari irisan daging yang diawetkan dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras yang banyak menghasilkan asap dan lambat terbakar. Asap mengandung senyawa fenol dan formal dehida, masing-masing bersifat bakterisida (membunuh bakteri). Kombinasi kedua senyawa tersebut juga bersifat fungisida (membunuh kapang). Kedua senyawa membentuk lapisan mengkilat pada permukaan daging. Panas pembakaran juga membunuh mikroba, dan menurunkan kadar air daging. Pada kadar air rendah daging lebih sulit dirusak oleh mikroba. Daging asap dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Daging Asap

3.      Dendeng

Dendeng merupakan salah satu hasil olahan pengawetan daging secara tradisional yang telah banyak dilakukan masyarakat Indonesia. Ditinjau dari cara pembuatannya, dendeng dapat dikelompokkan menjadi dendeng giling dan dendeng sayat.

Dendeng giling adalah daging yang dicetak dalam bentuk lembaran tipis setelah digiling dan ditambahkan bumbu, gula, garam dan asam. Sedangkan dendeng sayat adalah dendeng yang dibuat dari daging dengan cara disayat tipis kemudian dicampur dengan bumbu seperti pada dendeng giling kemudian dikeringkan. Dendeng sayat dan dendeng giling dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Dendeng Sayat dan Dendeng Giling

4.      Blitong

Produk daging kering yang diasin dan diolah secara tradisional oleh masyarakat Afrika Selatan dan sekarang telah dikembangkan dalam skala industri. Umumnya dibuat dari urat daging bagian belakang (hindquarter) ternak yang masih muda, agar produk yang dihasilkan tidak alot.

Urat daging tersebut dipotong ukuran 25-30 cm dan garis tengah 5-20 cm, kemudian direndam dalam air garam dan bumbu (adas, ketumbar, bawang putih dan empon-empon) selama satu malam atau dibungkus dalam garam kering dengan ukuran 1-2 kg garam untuk setiap 50 kg daging. Warna daging dipertahankan dengan penambahan gula dan garam nitrat/nitrit. Biltong mentah kemudian digantung sampai kering, seperti yang terlihat pada gambar 7.

Gambar 7. Blitong

5.      Jerky

Jerky merupakan produk daging kering yang telah lama dikenal sebagai daging olahan orang-orang Indian. Produk olahan ini biasanya terbuat dari daging sapi, walaupun juga dijumpai jerky daging rusa.

Cara pembuatan jerky adalah dengan memotong daging secara memanjang, kemudian direndam dalam garam dan dijemur di bawah sinar matahari. Jerky dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Jerky

6.      Danbunama

Merupakan produk olahan daging yang tergolong dalam bahan pangan setengah basah yang berasal dari Nigeria bagian timur. Daging yang digunakan berasal dari daging sapi. Produk olahan daging ini merupakan makan masyarakat Nigeria. Kadar air danbunama umumnya kurang dari 20%. Proses pembuatan danbunama dengan cara perebusan daging yang telah dipotong/disayat (seperti irisan empal daging), kemudian dipukul-pukul dan ditambahkan rempah-rempah. Selanjutnya irisan daging tersebut dipanaskan/dikeringkan dalam panci. Danbunama dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Danbunama

 

7.      Kilishi

Kilishi juga merupakan produk olahan daging yang masuk kedalam bahan pangan setengah basah yang juga berasal  dari Nigeria. Kilishi dapat dibuat dari daging babi dan daging sapi. Proses pembuatan kilishi hampir sama dengan pembuatan dendeng sayat tapi yang membedakan adalah selain ditambahkan bumbu/rempah-rempah, garam, juga ada penambahan pasta kacang tanah pada kilishi, selanjutnya dikeringkan dibawah sinar matahari.  Kadar air kilishi berkisar 9 – 10 %. Pembuatan kilishi terlihat pada gambar 10.

Gambar 10. Klishi

8.      Charqui

Charqui diproduksi secara tradisional di Amerika Selatan, charqui berbeda dengan biltong karena kandungan lemaknya tinggi. Charqui dibuat dengan memotong daging sapi dengan ukuran kecil seperti halnya biltong dan digantung di udara dingin selama 1 jam, direndam dalam air garam selama 1 jam lagi, dikeringkan, dicelup dalam garang kering kasar dan ditimbun dalam tumpukan 1-2 m, kemudian ditutup dengan garam dan dibiarkan selam semalam.

Kemudian tumpukan itu dibalik setiap 4 hari dan ditutup kembali dengan garam pada setiap pembalikan. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan menggunakan rak penjemur yang dihadapkan dengan sinar matahari. Kandungan air charqui kurang lebih 40 % dan termasuk produk bahan pangan setengah lembab dari daging. Charqui dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar 11. Charqui

9.      Pemmican

Pemmican dapat disamakan dengan biltong dan charqui dari daerah dingin. Pemmican diproduksi secara tradisional dari kerbau di daerah Arktik di Amerika Utara. Pemmican  terdiri dari lapisan-lapisan kecil daging tanpa lemak (lean meat) yang ditumbuk menjadi halus dan dicampur dengan lemak dan dikeringkan di bawah sinar matahari dengan atau tanpa ditambah buah-buahan kering untuk menambah rasa. Pemmican dapat dilihat pada gambar 12.

Gambar 12. Pemmican

 

C.      Dendeng

Adapun produk pangan setengah basah yang akan dibahas pada makalah ini adalah dendeng. Dendeng merupakan bahan pangan semi basah (Intermediate Moisture Food/IMF) yang mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi, dan tidak terlalu rendah, yaitu pada kisaran 15-50%  (Winarno, 1993). Menurut Soeparno (1988), dendeng merupakan salah satu produk daging kering yang telah banyak dibuat di Indonesia dan mempunyai masa simpan lebih dari 6 bulan dengan kadar air kira-kira 15- 20% dan pH 4,5-5,1. Di Indonesia, dendeng biasanya dibuat dari daging sapi, akan tetapi dapat  juga dibuat dari jenis daging yang lain, seperti ayam, kambing, dan babi.

Ciri-ciri fisik dendeng yang baik adalah berwarna coklat kehitaman, lembaran daging relatif tipis, tidak terdapat bercak putih kehijauan dan masih basah pada permukaannya (Sutaryo dan Mulyani, 2004). Tak hanya di Indonesia, dendeng juga lazim dikonsumsi di berbagai negara baik di Asia maupun negara-negara lain. Di Amerika produk pangan yang mirip dengan dendeng adalah beef jerky berasal dari bahasa Spanyol charqui yang artinya membakar daging. Jerky merupakan produk daging siap makan yang populer di Amerika Serikat dan dikenal sebagai snack dengan nilai gizi (protein) tinggi, rendah kalori dengan umur simpan yang lama. Dendeng merupakan sebutan lokal, yang sudah disesuikan dengan cita rasa Nusantara. Pada beberapa hasil penelitian menunjukkan perendaman daging dalam bumbu (marinasi) dapat dilakukan selama 4 jam pada suhu dingin (4°C), sedangkan menurut Association of American Meat Processors (AAMP), bahwa pencelupan yang sebenarnya adalah merendam irisan daging dalam campuran garam, gula, rempah-rempah atau campuran perasa tambahan, pada suhu 4°C selama 12 jam (Whenten, 2004) sehingga memberikan peluang penetrasi rempah-rempah. Sehingga memberikan rasa yang disukai konsumen tetapi dengan pertumbuhan mikroba yang dapat ditekan karena perendaman dilakukan pada suhu dingin. Handayani dkk. (2012) berhasil menemukan penggunaan asap cair 2,5% dengan suhu ruang pada saat perendaman dalam bumbu dapat menghasilkan dendeng tradisional aman dari cemaran mikroba patogen sehingga siap santap.

Proses pengeringan pada dendeng dilakukan setelah dendeng dipipihkan kemudian dendeng dikeringkan dengan menggunakan alat pengering. Pengeringan dendeng dilakukan untuk mengurangi kadar air yang ada dalam dendeng sampai cukup rendah, sehingga produk dapat memiliki kadar air tertentu dan dapat disimpan lebih lama. Karakteristik dendeng yang baik dilihat dari segi warna yaitu memiliki warna coklat kehitaman. Warna dendeng yang coklat dan kehitam-hitaman disebabkan oleh reaksi Maillard. Gula pereduksi (glukosa, fruktosa) yang bereaksi dengan gugus amino pada suhu tinggi dan water activity rendah akan menimbulkan warna kecoklatan. Bila gula pasir yang kualitasnya baik dipergunakan pada pembuatan dendeng, maka warna dendeng kering tidak terlalu coklat atau hitam. Pada umumnya gula yang dipergunakan adalah gula aren (gula merah) yang pada pembuatannya memang sudah terjadi reaksi Browning (Cici Rulianti, 2009).

Dendeng giling adalah suatu produk daging giling yang merupakan emulsi minyak dalam air. Untuk mempertahankan bentuk emulsi tersebut, maka perlu di tambahkan bahan pengisi. Jenis bahan pengisi yang biasa digunakan pada pembutan dendeng adalah tepung berpati. Bahan pengisi digunakan untuk memperbaiki stabilitas emulsi, berfungsi juga untuk memperbaiki flavour, meningkatkan daya ikat air sehingga membentuk tekstur yang padat dan kompak, mengurangi pengerutan selama pemasakan, dan meningkatkan karakteristik produk. Bahan pengisi yang biasa digunakan adalah tepung terigu, maizena, sagu dan tapioka   (Cici Rulianti, 2009).

Di Indonesia proses pembuatan dendeng kebanyakan dilakukan dengan metode tradisional, beberapa keuntungan diantaranya mudah dilakukan dan murah, karena energi panasnya didapat dari sinar matahari. Namun dengan berkembangnya zaman beberapa teknologi di manfaatkan dalam proses pembuatan dendeng agar dapat mempersingkat waktu pembuatan yaitu pengeringan dengan cara di oven. Tingkat keamanan yang diinginkan yang tinggi ini sangat berbeda dengan kondisi yang terjadi di beberapa usaha pengolahan daging, namun Indonesia telah menetapkan syarat mutu dendeng sapi berdasarkan (SNI ) yang dapat dilihat pada tabel 2, dibawah ini.

 

Tabel 2. Syarat Mutu Dendeng berdasarkan SNI 01-2908-1992

 

1.         Dendeng Sapi

Dendeng sapi adalah dendeng dengan bahan utama adalah daging sapi. Dendeng sapi siap makan dengan kualitas terbaik diperoleh waktu perendaman minimal 4 jam dengan kriteria: kadar air (11,77%), kadar abu (4,66%), kadar protein (48,54%) dan pH (5,5) dengan ciri tekstur yang agak lembut, warna coklat tua, aromaterapi agak berasap menyebabkan rasa dendeng yang agak kuat. selain perendaman selama 4 jam menghasilkan kandungan total mikroba, jumlah kapang dan koliform pada tingkat yang aman untuk dikonsumsi.

Pengolahan dendeng secara tradisional memiliki beberapa kelemahan antara lain kebersihan bahan makanan yang tidak terjamin. Proses pengeringan dan pengemasan dendeng yang dijual di pasaran oleh beberapa industri tradisional memungkinkan tejadinya cemaran oleh mikroorganisme. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nummer et al. (2004) bahwa pengolahan dan pengolahan dendeng tradisional tidak cukup mengeringkan jumlah mikroba patogen seperti Escherichia coliO157, Salmonella, Staphylococcus aureus dan Listeria monocytogenes. Jo dkk. (2004) dan Bjorkroth (2005) menegaskan bahwa pengendalian jumlah mikroba pada produk olahan berbahan baku daging sangat penting bagi semua unit usaha pengolahan daging. Saritha dkk. (2007) dan          Guilbaud et al. (2008) melaporkan bahwa ekstrak asap cair memiliki ketahanan yang sangat baik terhadap Listeria monocytogenes.

Menurut Margono (2000), pengeringan dendeng sapi giling dengan menggunakan oven dilakukan pada suhu 50 - 600C selama 4 - 6 jam. Komposisi daging sapi dan dendeng sapi tiap 100 gram bahan dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Komposisi daging sapi dan dendeng sapi tiap 100 gram bahan

2.         Dendeng Ayam

Salah satu cara pemanfaatan daging ayam petelur afkir yang dapat dilakukan adalah dengan mengolahnya menjadi dendeng giling. Hal ini dikarenakan dalam proses pembuatan dendeng giling, dilakukan proses penghancuran daging, akan tetapi tidakmenjadi bentuk yang terlalu halus. Pemanfaatan daging ayam petelur afkir menjadi produk dendeng giling ini memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan mengolahnya menjadi produk yang lain, antara lain memiliki rasa yang khas, memiliki umur simpan yang panjang dan dapat bertahan meskipun tidak disimpan dalam lemari pendingin (refrigerator).

Permasalahan yang timbul dalam pembuatan dendeng giling ayam petelur afkir ini adalah warna yang dihasilkan dari dendeng ini menjadi lebih tidak menarik karena warnanya menjadi lebih pucat dibandingkan dengan dendeng sapi yang berwarna merah. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan suatu bahan yang dapat membantu memperbaiki warna serta menambah cita rasa dari dendeng ayam petelur afkir. Gula maupun kecap manis merupakan bahan yang sangat dibutuhkan dalam pembuatan dendeng yang dapat membantu memberikan warna pada dendeng, serta memiliki kemampuan menurunkan Aw dan kadar air. Setiap jenis gula memiliki kekhasan tersendiri dalam hal warna, aroma, dan rasa. Oleh karena itu gula dapat digunakan sebagai suatu bahan yang dapat membantu untuk memperbaiki warna dan rasa dari dendeng giling yang akan dibuat. Pemilihan jenis gula tersebut berdasarkan pada karakteristik dari masing-masing gula, dimana tiap jenis gula yang digunakan memiliki warna dan aroma yang khas, serta memiliki kemampuan yang berbeda dalam menurunkan aw dan kadar air, sedangkan pemilihan konsentrasi gula didasarkan pada konsentrasi minimal gula untuk menurunkan aw dan kadar air, yaitu diatas 40%.

 

 

3.         Dendeng Ikan

Dalam upaya penganekaragaman makanan yang bergizi serta mempertahankan daya simpan ikan dan  peningkatan nilai ekonomis ikan juga dapat diolah menjadi dendeng. Dendeng ikan merupakan salah satu produk olahan ikan tradisional dengan cara pengeringan dan digolongkan sebagai bahan pengan semi basah. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah didapat, dan harganya relatif murah. Namun ikan cepat mengalami proses pembusukan. Oleh sebab itu pengawetan ikan perlu diketahui semua lapisan masyarakat.

Bahan baku utama  dendeng ikan adalah ikan mengandung protein tinggi. Bahan baku tambahan yang diperlukan adalah tepung tapioka, gula merah, garam, ketumbar, bawang merah, bawang putih, asam jawa, dan lengkuas. Menurut Handayani (2003), warna khas yang terbentuk pada produk dendeng (coklat tua atau coklat kehitaman) merupakan warna yang dikehendaki. Warna coklat pada dendeng ikan lele dumbo giling terbentuk karena adanya proses pemanasan atau pemanggangan, selain proses karamelisasi juga dipengaruhi oleh reaksi maillard. Menurut Inayati, dkk. (2019) diversifikasi pangan berupa dendeng ikan gabus giling dengan penambahan tapioka dan penggunaan suhu pengeringan yang optimum diharapkan dapat meningkatkan nilai gizi, serta menghasilkan warna, aroma, dan rasa yang lebih menarik.

 

D.    Proses Pengolahan Dendeng

Adapun alat dan bahan serta proses proses pembuatan dendeng adalah sebagai berikut :

1.         Alat dan Bahan

Ø  Alat yang digunakan yaitu :

a)      Freezer untuk menyimpan daging

b)      Mesin penyayat daging (Slicer 250 FS - 10) atau pisau (stainless steel) untuk menyayat daging.

c)      Alat penggiling bumbu

d)      Timbangan untuk menimbang bahan baku, bahan tambahan, dan dendeng yang akan dikemas.

e)      Wadah/baskom untuk perendaman daging.

f)       Wadah/tampah untuk pengeringan dendeng.

g)      Oven (dapat juga dijemur dibawah sinar matahari)

h)      Plastic sealer atau plastik vakum steril untuk mengemas dendeng.

i)       Mesin vakum makanan

Ø  Bahan Utama

-          1 Kg daging sapi

Ø  Bahan Bumbu

a)      8 siung bawang putih yang sudah dikupas.

b)      100 gram ketumbar (ditumbuk kasar)

c)      2 ruas jari lengkuas

d)      4 buah cabai merah (sesuai selera) yang sudah diulek kasar

e)      ½ sendok makan asam jawa

f)       1 sendok teh merica bubuk.

g)      300 gram gula merah.

h)      Kecap manis secekupnya sesuai selesai (untuk tambahan rasa manis)

i)       1 sendok makan garam

j)       2 sendok makan tepung maizena (pengikat)

 

2.         Cara Membuat

Ditinjau dari cara pembuatannya, dendeng disajikan dalam dua bentuk yaitu dendeng sayat dan dendeng giling. Menurut sebagian orang dendeng sayat mempunyai rasa yang lebih lezat dibandingkan dendeng giling. Adapun cara pembuatan dendeng secara rinci adalah sebagai berikut :

a.       Dendeng Sayat

1)      Pertama daging sapi disayat tipis-tipis agar lebih mudah dipotong masukkan daging kedalam freezer sampai daging agak kaku dan mudah dipotong, usahakan pada saat memotong daging melawan arah serat daging agar nanti saat dimasak daging tidak mudah hancur dan lebih mudah empuk. Kemudian letakan dalam wadah/baskom

2)      Kemudian haluskan semua bumbu, untuk ketumbar dan cabe dapat ditumbuk kasar atau sesuai selera.

3)      Lumuri/rendam daging yang sudah disayat dengan bumbu yang sudah disiapkan, dan biarkan minimal selama 4 jam didalam lemari pendingin atau suhu sekitar 4C agar bumbu dapat meresap secara maksimal ke seluruh bagian daging.

4)      Setelah itu proses pengeringan, letakan daging pada wadah /tampah yang sudah disiapkan. Pengeringan daging dapat menggunakan oven (suhu 50 - 600C selama 4-6 jam) terlihat pada gambar 13 atau dibawah sinar matahari (3-5 hari) atau sesuai jenis daging dan cara pengeringan, sampai daging benar – benar kering secara merata dan tidak memiliki kandungan air lagi. Jangan lupa untuk membalikan dendeng tersebut agar kedua sisi matang secara merata.

5)      Setelah dendeng sapi kering, dinginkan dengan suhu ruang sampai benar-benar dingin agar tidak ada uap air yang muncul pada saat pengemasan.

6)      Agar dendeng lebih tahan lama pengemasan menggunakan plastik steril dan kemudian di vakum menggunakan mesin vakum makanan untuk mengeluarkan seluruh udara karena paparan udara dapat mempengaruhi kesegaran dan daya simpan dendeng.

Gambar 13. Proses Pengeringan Daging Menggunakan Oven

b.      Dendeng Giling

1)      Pembuatan dendeng giling dapat menggunakan potongan daging yang kecil/tidak beraturan kemudian bisa digiling.

2)      Haluskan semua bumbu (untuk ketumbar dan cabe dapat ditumbuk kasar atau sesuai selera)

3)      Campur daging giling dengan bumbu yang sudah disiapkan, dan biarkan minimal selama 4 jam didalam lemari pendingin atau suhu sekitar 4C agar bumbu dapat meresap secara maksimal ke seluruh bagian daging.

4)      Setelah itu letakan campuran daging giling pada wadah/nampah dan tipis-tipiskan dengan ketebalan kurang lebih 2-3 mm sehingga berbentuk tembaran.

5)      Setelah itu proses pengeringan, pengeringan daging dapat menggunakan oven (50C selama 2 jam) atau dibawah sinar matahari (2-3 hari) sehingga menghasilkan dendeng setengah matang agar dendeng lebih mudah dipotong, seperti yang terlihat pada gambar 14.

6)      Potong lembaran dendeng sesuai selera sehingga akan didapat potongan-potongan dendeng.

7)      Setelah dipotong proses pengeringan terakhir  dapat menggunakan oven (60C selama 2-4 jam) atau dibawah sinar matahari selama 2-3 hari sampai daging benar – benar kering secara merata dan tidak memiliki kandungan air lagi. Jangan lupa untuk membalikan dendeng tersebut agar kedua sisi matang secara merata.

8)      Proses pengemasan dendeng giling sama dengan pengemasan dendeng sayat.

Gambar 14. Proses Pemotongan Dendeng Giling

E.     Masa Simpan Dendeng

Untuk memaksimalkan kualitas dan kesegaran dendeng, simpan dendeng di tempat yang sejuk dan kering. Penyimpanan pada suhu ruang dapat bertahan selama maksimal 2 minggu namun apabila dikemas dengan menggunakan mesin vakum dendeng dapat bertahan disuhu seruang selama       1 – 4 bulan, di dalam kulkas (suhu 4 - 6C) selama 3 - 6 bulan, atau di dalam freezer selama maksimal 1 tahun. Lamanya penyimpanan dendeng juga dipengaruhi oleh cara handling pada setiap proses pembuatan dendeng, sehingga pengerjaan yang bersih dapat memperpanjang lama penyimpanan dendeng. Kapan pun ingin mengonsumsi dendeng, cukup buka wadah dan ambil porsi secukupnya, seiring berjalannya waktu, paparan udara dapat menyebabkan mikroorganisme berkembangbiak dan mengurangi kesegaran dendeng.

Faktor yang paling mempengaruhi umur simpan produk dendeng ini adalah penyerapan oksigen dan dapat dikatakan faktor yang paling kritis terhadap umur simpan dendeng sapi giling. Suhu juga berpengaruh terhadap perubahan mutu dendeng sapi selama penyimpanan. Makin tinggi suhu penyimpanan makin singkat umur simpan. Perkiraan umur simpan (shelf life) suatu produk merupakan informasi yang sangat diperlukan guna menunjang keamanan dan kesehatan bagi konsumen di samping menunjang daya saing produk dalam menembus pasar (Paine, 1962; Quast and Farel, 1972). Dendeng yang sudah dikemas dapat dilihat pada gambar 15 dibawah ini.

 

Gambat 15. Dendeng Sapi Dalam Kemasan

BAB IV. KESIMPULAN

 

1.      Daging mudah sekali mengalami kerusakan mikrobiologi karena kandungan gizi dan kadar airnya yang tinggi, serta banyak mengandung vitamin dan mineral, sehingga diperlukan suatu treatment untuk menghambat perkembangbiakan mikroorganisme salah satunya adalah menurunkan kadar air yang terdapat pada daging dan dapat disimpan di suhu kamar yang dikenal dengan istilah produk pangan setengah basah atau Intermediate Moisture Food (IMF).

2.      Bahan pangan setengah basah yang berasal dari daging merupakan bagian dari kelompok bahan pangan setengah basah yang dikenal dengan istilah Intermediate Moisture Meat (IMM).

3.      Berdasarkan cara pengolahannya IMF modern dibagi lagi menjadi tiga tipe, yaitu dengan cara pencelupan basah (moist infution), pencelupan   kering   (dry infution), serta pencampuran (blending) sehingga mencapai  aw produk  yang  diinginkan serta dengan nilai aw tertentu.

4.      Senyawa higroskopik yang dapat digunakan sebagai humektan yaitu garam, gula, poliol (sorbitol dan gliserol) dan turunan  protein (pati dan lain-lain).

5.      Beberapa kelebihan pengolahan porduk setengah basah yaitu mempunyai  tekstur  yang plastis sehingga memungkinkan untuk langsung dimakan, perkembangbiakan mikroorganisme terhambat, tidak memerlukan penyimpanan dingin, stabil pada suhu kamar, dapat dikemas lebih ringkas dan mudah dalam distribusi dari satu tempat ke tempat lainnya, menghemat ruangan dan mengurangi biaya dalam penyimpanan, tahan lama dan lebih kuat dari cuaca dingin atau panas.

6.      Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya simpan suatu produk pangan setengah basah yaitu interaksi  antar  komponen  dalam  sistem pangan  tersebut, proses  produksi  yang  digunakan, permeabilitas kemasan  terhadap  cahaya,  kelembaban  (air),  dan  gas (oksigen dll), disribusi antara waktu dan suhu pada saat penyimpanan dan transportasi.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adnan, M., (1982), Aktivitas air dan Kerusakan Bahan Makanan, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, Yogyakarta.

Alamsyah Rizal, Putiati Mahdar, Muliandi. 1995. Pendugaan Umur Simpan Dendeng Sapi Giling Dengan Aplikas Kinetika Arrhenius, Journal of Agro-based Industry, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Vol. 12, No. 1-2, pp. 5-8, 1995.

Cici, R., (2009), Pengaruh Penambahan Tapioka dan  Suhu Pengeringan terhadap Karakteristik Dendeng Belut (Monoterus albus) Giling, Tugas Akhir, Program Sarjana, Jurusan Teknologi Pangan-UNPAS, Bandung.

deMan, J. M. 1989. Kimia Makanan. Kosasih Padmawinata, penerjemah. Penerbit ITB, Bandung.

Halimah E, (1997), Pengaruh Konsentrasi Gula dan Suhu Pembakaran Terhadap Mutu Dendeng Bakar Daging Sapi, Tugas Akhir, Teknologi Pangan, UNPAS.

Harry, Susana Serlince., Bastari Sabtu, dan Gemini E. M. Malelak. 2019. Kualitas Dendeng Giling Ayam Afkir Yang Diberi Campuran Jantung Pisang dan Kelapa Parut. Journal of Tropical Animal Science and Technology: 1 (1), Juli 2019

Inayati, Devi dkk. 2019. Karakteristik Fisikokimia, Organoleptik Dendeng Ikan Gabus (Channa Striata ) Dengan Variasi Jenis Tepung. Jurnal Universitas Semarang.

Komariah, Sri Rahayu, dan Sarjito. 2009. Sifat Fisik Daging Sapi, Kerbau dan Domba pada Lama Postmortem Yang Berbeda. Buletin Peternakan IPB Vol. 33(3): 183-189, Oktober 2009

LI, Tiancheng., Peng Zhou, dan Theodore P. Labuza. 2009. Effect of Sucrose Crystallization and Moisture Migration on the Structural Changes of a Coated Intermediate Moisture Food. International Journal Chem, Eng, China Vol. 3 No. 4 (346).

Muliandi, (1994), Aplikasai Kinetika Untuk Pendugaan Umur Simpan Dendeng Sapi Giling, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.

Nopwinyuwong, Atchareeya., Sudsai Trevanich, dan Panuwat Suppakul. 2010. Development of A Novel Colorimetric Indicator Label for Monitoring Freshness of  Intrmediate-Moisture Dessert Spoilage. Journal of Talanta 81, 2010 (1127).

Setyaningtyas, Anggraeni Gigih. 2008. Formulasi Produk Pangan Darurat Berbasis Tepung Ubi Jalar, Tepung Pisang, Dan Tepung Kacang Hijau  Menggunakan Teknologi Intermediate Moisture Foods (IMF). Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor

 

Sudarmanto, 1999. Granula Pati Tersusun Atas Amilosa. Penerbit Bharata Karya Aksara, Jakarta.

Soeparno, (1992), Ilmu dan Teknologi Daging, Fakultas Peternakan, UGM, Yogyakarta.

Soekarto  S.  T.  1979.  Air  Ikatan,  Penetapan  Kuantitatif  dan  Penerapannya  pada Stabilitas   Pangan   dan   Disain   Pangan   Semi   Basah.   Departemen Teknologi Hasil Pertanian Fatemeta IPB, Bogor.

Winarno F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.

 

 

 

 


 

LAMPIRAN

 

Gambar 1. Kurva isotermi sorpsi air pada bahan pangan (deMan, 1989)





Gambar 2. Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi aw (Fennema, 1996)





Gambar 4. Pembuatan Abon


Gambar 3. Protein Penyusun Jaringan Otot


Gambar 5. Daging Asap




Gambar 6. Dendeng Sayat dan Dendeng Giling


Gambar 7. Blitong




Gambar 8. Jerky


Gambar 9. Danbunama


Gambar 10. Klishi


Gambar 11. Charqui


Gambar 12. Pemmican


Gambar 13. Proses Pengeringan Daging Menggunakan Oven




Gambar 14. Proses Pemotongan Dendeng Giling