TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK
TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK PANGAN
SETENGAH BASAH
Sri Wahyuni
C1071191059
PROGRAM
STUDI PETERNAKAN
JURUSAN
BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
TANJUNGPURA
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
Subhanahu Wata’ala, atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang
berjudul “Teknologi Pengolahan Pangan Setengah Basah” dengan baik. Penulis menyampaikan rasa
hormat dan terimakasih kepada Ibu Retno Budi Lestari,M.Sc dan Bapak Edi
Permady, S.Pt.,M.Sc. selaku dosen pengampu mata kuliah Teknologi Hasil Ternak
yang telah membimbing selama masa perkuliahan.
Makalah ini dibuat sebagai syarat kelulusan mata kuliah Teknologi Hasil Ternak. Penulis menyadari makalah ini memiliki kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik, saran dan
masukan yang
membangun demi perbaikan
makalah ini.
Pontianak, Oktober 2020
Penulis
DAFTAR
ISI
A. Pangan Setengah
Basah atau Intermediate Moisture Foods (IMF)
F. Kelebihan dan Kekurangan Pengolahan Produk IMF
A. Produk Pangan Setengah Basah Yang Berasal Dari Daging
BAB IV. KESIMPULAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kurva Isotermi Sorpsi
Air Pada Bahan Pangan (deMan, 1989)6
Gambar 2. Stabilitas Bahan Pangan Sebagai Fungsi
Aw (Fennema, 1996)6
Gambar 3. Protein Penyusun
Jaringan Otot15
Gambar 4. Pembuatan Abon.................................................................................. 17
Gambar 5. Daging Asap........................................................................................ 18
Gambar 6. Dendeng Sayat dan Dendeng Giling.................................................... 18
Gambar 7. Blitong................................................................................................. 19
Gambar 8. Jerky..................................................................................................... 19
Gambar 9. Danbunama.......................................................................................... 20
Gambar 10. Klishi ................................................................................................. 21
Gambar 11. Charqui............................................................................................... 21
Gambar 12. Pemmican........................................................................................... 22
Gambar 13. Proses Pengeringan Daging
Menggunakan Oven.............................. 29
Gambar 14. Proses Pemotongan Dendeng Giling................................................. 30
Gambat 15. Dendeng Sapi Dalam Kemasan.......................................................... 31
DAFTAR
TABEL
Tabel 1. Nilai Aktivitas Air (aw) Minimun Mikroba Yang Sering
Terdapat Pada Pangan Semi Basah14
Tabel 2. Syarat
Mutu Dendeng Berdasarkan SNI 01-2908-199224
Tabel 3. Komposisi daging sapi dan dendeng sapi tiap
100 gram bahan.............. 25
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring perkembangan jumlah penduduk,
kebutuhan konsumsi akan makanan dan minuman semakin meningkat. Sebagian besar
konsumsi masyarakat yang dibutuhkan harus mengandung gizi seperti karbohidrat,
vitamin, dan protein. Protein terdiri dari dua jenis yaitu protein nabati dan
hewani. Salah satu sumber protein hewani adalah daging yang terdiri
dari kumpulan sel berbentuk serat tersusun atas filamen protein yaitu aktin dan
miosin yang disebut juga sebagai jaringan otot. Jaringan otot hewan tersusun
atas air, lemak, protein, karbohidrat dan komponen anorganik. Zat-zat nutrisi ini juga
merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi mikroba.
Daging mudah sekali mengalami kerusakan mikrobiologi
karena kandungan gizi dan kadar airnya yang tinggi, serta banyak mengandung
vitamin dan mineral. Daging dan produk olahannya merupakan pangan yang
bersifat perishable food (pangan mudah rusak) karena sangat
rentan terkontaminasi oleh mikroorganisme pembusuk maupun mikroorganisme
patogen. Beberapa tanda-tanda kerusakan pada daging di antaranya
adalah perubahan warna, bau (bau menjadi tengik
atau berbau busuk), terbentuknya lendir,rasa (menjadi asam), sehingga diperlukan suatu
treatment untuk menghambat perkembangbiakan
mikroorganisme salah satunya adalah menurunkan kadar air yang terdapat pada
daging dan dapat disimpan di suhu kamar yang dikenal dengan istilah produk
pangan setengah basah atau Intermediate Moisture
Food (IMF).
Bahan pangan setengah basah yang berasal dari daging
merupakan bagian dari kelompok bahan pangan setengah basah yang dikenal dengan istilah Intermediate Moisture
Meat (IMM). Bahan pangan setengah basah atau Intermediate
Moisture Food (IMF) dan Intermediate
Moisture Meat (IMM) merupakan
bahan pangan yang memiliki kadar air dalam kisaran antara 20 – 40% dengan nilai
aktivitas air (aw) 0,6 – 0,9
tidak memerlukan penyimpanan dingin, stabil dalam suhu kamar dan
perkembangbiakan mikroorganisme terhambat.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan produk
pangan setengah basah atau Intermediate Moisture
Food (IMF) ?
2. Apa
saja contoh bahan pangan setengah basah yang berasal dari daging ?
3. Apa
saja humektan dalam pembuatan produk
pangan setengah basah?
C.
Tujuan
1.
Agar
mahasiswa dapat mengetahui proses pembuatan produk pangan setengah
basah.
2.
Agar
mahasiswa dapat mengtahui jenis jenis produk pangan setengah
basah.
3.
Agar mahasiswa dapat mengetahui kekurangan
dan kelebihan produk pangan setengah basah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pangan Setengah Basah atau Intermediate Moisture Foods (IMF)
1. Definisi dan
Karakteristik
Menurut Soekarto (1979) pangan setengah basah atau Intermediate Moisture Food (IMF) merupakan bahan pangan yang
memiliki kadar air 10-40% dengan nilai
aktivitas air (aw) 0,6 – 0,9 serta
mempunyai tekstur yang plastis
sehingga memungkinkan IMF
dapat dibentuk dan
dapat langsung dimakan. Definisi
IMF lainnya dikemukakan
oleh Robson (1976),
yaitu produk IMF umumnya
mempunyai nilai aw
pada kisaran 0,65-0,85 dan berkadar air sekitar 15-30%. Sesuai dengan
namanya “semi basah”, maka jenis pangan ini bersifat cukup basah
sehingga dapat langsung
dimakan tanpa direhidrasi dan juga cukup kering sehingga
stabil selama penyimpanan. Menurut
beberapa penelitian memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai kadar air yang
terdapat pada bahan pangan setengah basah. Kadar air dari IMF menurut Nuriningsih (2008) dan
Nopwinyuwong (2010) adalah 15-50%. Namun menurut Basuki (2013) kadar air dari
IMF adalah antara 10-40%. Rentang aktifitas air (aw)
dari IMF menurut Nopwinyuwong (2010) adalah antara 0,60 – 0,85. Namun
menurut Basuki (2013) rentang aw dari IMF
adalah antara 0,6 – 0,9.
Bahan pangan setengah basah memiliki ciri-ciri antara
lain, tidak memerlukan penyimpanan pada suhu dingin, stabil dalam penyimpanan
suhu kamar, perkembangan mikroorganismenya terhambat serta memiliki aktivitas
air (aw) 0,60-0,80 (Purnomo, 1996). Dengan kadar air yang cukup rendah membuat pertumbuhan
bakteri tidak efektif, karena
bakteri tumbuh pada aw di
atas 0.90. Demikian
juga untuk pertumbuhan
khamir yang bersifat patogen. Hal
ini adalah suatu keuntungan dari IMF menjadi stabil terhadap pertumbuhan
mikroba, tahan disimpan tanpa memerlukan proses pengawetan yang lain seperti
pendinginan, sterilisasi ataupun pengeringan. Hal ini
juga ditunjang oleh
kondisi substrat dari
pangan semi basah
yang bersifat sebagai pengawet.
Intermediate Moisture Meat (IMM) merupakan bagian dari IMF dengan bahan baku berasal
dari daging yang memiliki kadar air antara 20-40 %,
tidak memerlukan
penyimpanan dingin, stabil dalam suhu
kamar dan perkembangbiakan mikroorganisme terhambat. Menurut Taoukis et.
al. (1999) karakteristik
produk IMF memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan produk kering
konvensional atau makanan dengan
kadar air tinggi.
Proses pengolahan IMF secara signifikan lebih
hemat energi dibandingkan pengeringan, refrigerasi, pembekuan atau pengalengan.
Beberapa pangan tradisional
merupakan pangan yang
diolah dengan teknologi
IMF tradisional.
2. Teknologi
Pengolahan IMF
Cara
pengolahan IMF terutama
didasarkan pada penurunan
nilai kadar air diikuti
aktifitas air (aw)
sampai tingkat mikroba
patogen dan pembusuk tidak
tumbuh, tetapi kandungan airnya masíh cukup. Karel (1976) menggolongkan IMF
menjadi dua tipe, yaitu tradisional dan
modern. Beberapa IMF
tradisional adalah hasil
olahan tanpa penambahan humektan,
hasil olahan dengan
penambahan gula, dan
hasil olahan dengan penambahan gula dan garam.
a.
IMF Berdasarkan Cara Pengolahannya
Berdasarkan cara pengolahannya IMF modern dibagi lagi menjadi tiga tipe,
yaitu :
1)
Pencelupan basah (moist infution), dimana
bahan pangan padat direndam dalam larutan sehingga produk akhirnya mempunyai nilai aw seperti
yang diinginkan.
2)
Pencelupan kering
(dry infution), dimana bahan pangan mula-mula didehidrasi kemudian direndam dalam larutan osmotik
sampai tingkat aw yang diinginkan misalnya manisan buah. Proses
ini memerlukan energi lebih
tinggi dari metode yang lain,
tetapi menghasilkan produk yang berkualitas tinggi.
3)
Pencampuran (blending) dimana
komponen-komponen bahan pangan ditimbang,
dicampur, dimasak dan diekstrusi atau
perlakuan lain seperti pengeringan/penjemuran sehingga mencapai aw produk
yang diinginkan sehingga
menghasilkan makanan dengan aw
tertentu.
b.
Klasifikasi Berdasarkan Teknologi Produksi
IMF Modern
Berdasarkan klasifikasi
teknologi produksi IMF
modern tersebut terdapat dua
tipe dasar pengolahan
IMF modern yaitu
adsorpsi dan desorpsi. Pada
tipe adsorpsi, bahan
pangan dikeringkan sambil
dikontrol proses pembasahan kembali
sampai keadaan yang
diinginkan sedangkan tipe
desorpsi bahan dimasukkan kedalam larutan yang mempunyai tekanan osmotik lebih
tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang diinginkan. Proses
ini dapat dipercepat
dengan menaikkan suhu
(Robson,1976).
B.
Isotermi Sorpsi Air (ISA)
Isotermi sorpsi air
menunjukkan hubungan antara
kadar air bahan dengan equilibrium relative humidity
ruang tempat penyimpanan bahan (ERH) atau
aktivitas air (aw)
pada suhu tertentu
(Syarief dan Halid,
1993). Soekarto (1979) menyebutkan
bahwa hubungan ini
telah banyak dipakai pada
banyak lapangan seperti penggudangan, pengeringan, dan pengemasan. Suatu
peranan baru yang sangat
penting adalah penggunaannya
dalam formulasi dan
disain pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF).
Kurva isotermi sorpsi
air menggambarkan kadar
air kesetimbangan dalam hubungannya dengan
aktivitas air atau
kelembaban relatif keseimbangan
pada suhu tertentu. Bentuk kurva isotermi sorpsi air khas untuk setiap bahan
pangan.
Gambar 1. Kurva
isotermi sorpsi air pada bahan pangan (deMan, 1989)
Kurva di atas
memperlihatkan dua jenis
isotermi sorpsi air.
Umumnya istilah isotermi adsorpsi diperlukan untuk pengamatan produk
higroskopik dan isotermi desorpsi untuk
meneliti proses pengeringan. Kurva
dengan kemiringan curam menunjukkan
bahan bersifat higroskopik
dan kurva yang agak
mendatar menunjukkan produk
yang tidak peka
terhadap air (deMan, 1989).
Aktivitas Air (aw) Kandungan
air suatu bahan
pangan tidak dapat
digunakan sebagai indikator nyata
dalam menentukan ketahanan
masa simpan. Oleh
karena itu digunakan istilah aktivitas air untuk menjabarkan air yang
tidak terikat atau bebas dalam
suatu sistem yang
dapat menunjang reaksi biologis
dan kimiawi. Aktivitas air
memiliki peranan penting
dalam hubungannya dengan stabilitas
bahan,
seperti yang terlihat pada gambar 2. Aktivitas air atau water activity
(aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk
pertumbuhannya (Syarief dan Halid,
1993).
Gambar 2. Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi aw
(Fennema, 1996)
C.
Humektan
Prinsip
dasar pembuatan IMF
adalah menurunkan aw
bahan sampai mencapai zone
aw IMF. Penurunan
aw tersebut dapat
dicapai dengan mengeringkan bahan.
Akan tetapi produk
kering biasanya memerlukan rehidrasi sebelum
dikonsumsi. Masalah tersebut
dapat diatasi dengan menggunakan humektan.
Humektan adalah bahan
yang dapat menurunkan nilai aw
tetapi dapat mempertahankan kandungan
air yang terdapat
pada produk, serta dapat berfungsi sebagai plasticizer (Taoukis et. al.,
1999).
Taoukis et. al. (1999)
juga mengatakan bahwa
terdapat empat kategori senyawa higroskopik yang dapat
digunakan sebagai humektan adalah sebagai
berikut :
1.
Garam (mineral dan
organik),
2.
Gula
3.
Poliol
(sorbitol dan gliserol)
4.
Turunan
protein.
Menurut Troller (1989),
kriteria pemakaian humektan
dalam bahan pangan yaitu,
aman, diizinkan oleh
undang-undang, efektif sesuai
dengan konsentrasi penggunaannya, tidak merusak produk pangan, tidak
berbau, tidak berwarna atau tidak
mengubah warna produk
pangan. Humektan selain berkemampuan mengikat
air dan menurunkan
aw, juga dapat
bersifat sebagai anti mikroba
(bacteriostatic dan mycostatic),
memperbaiki tekstur, cita
rasa dan dapat meningkatkan nilai kalori.
Poliol termasuk sorbitol merupakan
bahan yang resisten
terhadap metabolisme bakteri di
dalam mulut. Bakteri
ini memecah gula
dan pati menjadi
asam yang dapat menyebabkan
kerusakan lapisan enamel
gigi. Sorbitol juga tahan
terhadap suhu tinggi,
sehingga tidak menyebabkan reaksi pencoklatan (Maillard
Reaction) (Caloriecontrol, 2006).
Sorbitol juga banyak digunakan
sebagai gula alternatif
bagi penderita diabetes
karena cenderung tidak menimbulkan hyperglycaemia (peningkatan gula
darah). Hal ini disebabkan sorbitol diubah menjadi fruktosa di dalam
hati (Hough et. al., 1979).
Gliserol
merupakan plasticizer yang tergolong dalam senyawa poliol yang memiliki tiga
gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Rumus kimia
gliserol adalah C3H8O3
dengan berat molekul
92,10, massa jenis 1,23 g/cm3 serta titik
didihnya 2040C (Winarno,
1992). Secara alami gliserol
terdapat pada tanaman yaitu melalui penguraian fruktosa
difosfat oleh enzim
aldosa menjadi dihidroksi aseton kemudian direduksi menjadi α-gliserofosfat.
Gugus fosfat dihilangkan melalui proses fosforilasi
sehingga terbentuk molekul gliserol
(Winarno, 1992). Aplikasi humektan pada produk IMF ini menggunakan persamaan
Grover. Humektan yang digunakan
adalah sorbitol dan
gliserol. Berdasarkan persamaan Grover, aplikasi 10 % sorbitol
cukup efektif menurunkan nilai aw produk. Namun setelah
dilakukan pengukuran aw
aktual dengan aw
meter, nilai aktualnya
lebih tinggi dibanding nilai
prediksi dan nilai
aw produk
tanpa humektan. Penggunaan 4%
gliserol cukup efektif untuk menurunkan nilai
aw produk.
Penggunaan humektan yang berasal dari turunan protein seperti pati yang tersimpan
dalam bentuk butiran (granula) yang kenampakan dan ukurannya beragam. Pati
merupakan glukan yang terdiri dari 2 macam fraksi. Granula pati tersusun secara
berlapis-lapis mengelilingi nukleus. Granula pati bersifat higroskopis, mudah
menyerap air, lembab dan diikuti dengan peningkatan diameter granula. Bahan pengisi yang digunakan pada pembuatan IMF yaitu
tepung. Tepung mempunyai jenis beragam dan memiliki karakteristik yang
berbeda-beda yang nantinya akan mempengaruhi hasil akhir olahannya. Perlu dilakukan
penelitian untuk menghasilkan karakteristik fisikokimia dan organoleptik IMF
yang baik. Jenis tepung yang berbeda sebagai bahan pengisi berpengaruh nyata
terhadap kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, elastisitas
sebelum digoreng, elastisitas sesudah digoreng, sifat organoleptik warna,
aroma, rasa, dan kekenyalan (Setyaningtias, 2008).
Beberapa jenis tepung yang sering digunakan dalam pengolahan IMM adalah
sebagai berikut :
1. Tepung
Tapioka
Tepung tapioka merupakan bahan
pengikat yang mempunyai fungsi untuk meningkatkan stabilitas emulsi,
meningkatkan daya ikat air, meningkatkan flavor, mengurangi
pengerutan selama pemasakan, meningkatkan karakteristik irisan produk, dan
mengurangi biaya formulasi.
2. Tepung
Terigu
Tepung terigu merupakan tepung/bubuk halus yang
berasal dari biji gandum, dan
digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mi dan roti. Kata terigu dalam Bahasa Indonesia diserap dari bahasa Portugis trigo yang berarti gandum.Tepung
terigu mengandung banyak zat pati, yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut
dalam air. Tepung terigu juga mengandung protein dalam bentuk gluten, yang
berperan dalam menentukan kekenyalan makanan yang terbuat dari bahan terigu. Tepung terigu memiliki kandungan pati sebesar 65-70%,
protein 8-13%, lemak 0,8-1,5% serta abu dan air masing-masing 0,3-0,6% dan
13-15,5%.
3. Tepung
Maizena
Pati jagung tersusun atas 25%
amilosa dan 75% amilopektin. Amilosa mendorong proses mekar sehingga produk
yang berasal dari pati-patian beramilopektin tinggi bersifat porous, ringan,
gating, dan mudah patah (Setyowati, 2006).
D.
Pengeringan
Dalam proses pengolahan pangan setengah basah yang berasal
dari daging atau IMM dalam mengendalikan aktivitas dan kandungan air selain
menggunakan humektan terkadang juga dikombinasikan dengan perlakuan pengeringan
atau pengasapan. Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut
dengan menggunakan energi panas. Kadar airnya akan mengalami penurunan dan
mengakibatkan kandungan protein di dalam bahan mengalami peningkatan. Selama
pengeringan juga terjadi perubahan antara lain warna, rasa, dan aroma
(Cici Rulianti, 2009).
Proses pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air
yang ada dalam dendeng sampai cukup rendah, sehingga produk dapat memiliki
kadar air tertentu dan dapat disimpan lebih lama. Proses perpindahan panas
terjadi karena suhu bahan lebih rendah dari pada suhu udara sekelilingnya. Pada
saat pengeringan dimulai uap panas yang dialirkan melalui permukaan bahan
kemudian akan menaikkan tekanan uap air (Cici Rulianti, 2009).
Purnomo dan Adiono (1987), menyatakan faktor utama yang mempengaruhi
kecepatan pengeringan suatu bahan adalah :
1.
Sifat fisik dan kimia
dari produk (bentuk, ukuran, komposisi dan kadar air).
2.
Pengaturan geometris
produk, sehubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindah panas.
3.
Sifat fisik dari
lingkungan alat pengeringan (suhu, kelembaban dan kecepatan udara).
4.
Karakteristik alat
pengering.
Pengeringan yang dilakukan dengan suhu yang terlalu tinggi,
dapat mengakibatkan case hardening, yaitu suatu keadaan dimana
bagian luar (permukaan) bahan sudah kering sedangkan bagian dalam masih basah.
Terjadinya case hardening dapat mengakibatkan proses
pengeringan selanjutnya lebih lambat. Oleh karena itu pengaturan suhu dan lama
pengeringan sangat mempengaruhi mutu bahan yang dikeringkan. Untuk mencegah
kerusakan adalah dengan membuat suhu pengeringan tidak terlalu tinggi, atau
proses pengeringan awal tidak terlalu cepat.
Afrianto et al (1989), menyatakan bahwa
proses pengeringan akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar protein dari
produk, hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan konsentrasi ion nitrogen,
dimana selama pengeringan berlangsung terjadi pelepasan molekul air oleh
protein daging sehingga konsentrasi protein daging meningkat oleh adanya
penurunan berat bahan. Karakteristik daging hasil pengolah pangan setengah
basah yang memiliki warna coklat kehitaman disebabkan oleh reaksi Maillard.
Reaksi ini merupakan reaksi-reaksi antara karbohidrat, khususnya pereduksi
dengan gugus amino primer. Hasil tersebut menghasilkan bahan makanan yang
berwarna coklat yang biasanya dikehendaki atau kadang-kadang dijadikan sebagian
pertanda penurunan mutu (Cici Rulianti, 2009).
Winarno (1997), menyatakan reaksi Maillard akan
terjadi bila karbohidrat dipanaskan bersamaan dengan terbentuknya warna coklat
pada bahan makanan sehingga menyebabkan penurunan nilai gizi, karena asam amino
bebas esensial dan residu asam amino, khususnya lisin,
berpartisipasi dalam reaksi Maillard tersebut. Walaupun
demikian reaksi Maillard bukan masalah yang serius dalam
penurunan nilai gizi bahan pangan.
Menurut Margono (2000), pengeringan dendeng giling daging
sapi dengan menggunakan oven dilakukan pada suhu 500C-600C
selama 4-6 jam. Menurut Kurniati (2006), suhu
pengeringan 600C selama 6 jam menghasilkan dendeng giling ikan patin
terbaik. Suhu pengeringan yang dilakukan lebih dari 700C untuk
produk-produk ikan akan mengalami kerusakan. Kadar air pada dendeng menjadi
berkurang mengakibatkan kandungan senyawa-senyawa protein, karbohidrat, lemak,
dan mineral memiliki konsentrasi yang lebih tinggi.
E. Pengemasan dan Penyimpanan
Pengemasan disebut
juga pembungkusan, pewadahan, atau pengepakan, memegang
peranan penting dalam
pengawetan bahan hasil pertanian. Adanya
pembungkus dapat mengurangi
kerusakan, melindungi bahan pangan
dari pencemaran dan
gangguan fisik seperti
gesekan, benturan, dan getaran,
serta memudahkan penyimpanan,
pengangkutan, dan distribusi (Syarief et. al., 1989).
Adapun hal-hal yang dapat
mempengaruhi daya simpan suatu produk pangan setengah basah adalah sebagai
berikut :
a.
Interaksi
antar komponen dalam
sistem pangan tersebut.
b.
Proses
produksi yang digunakan.
c.
Permeabilitas kemasan terhadap
cahaya, kelembaban (air),
dan gas.
d.
Disribusi antara waktu dan suhu pada saat
penyimpanan dan transportasi.
Pangan semi
basah apabila dilihat
dari substratnya sudah bersifat mengawetkan, tetapi dengan
pengemasan yang baik akan dapat meningkatkan
keawetannya dan berperan
dalam pemasaran. Menurut Syarief, dkk. (1989) produk
yang bersifat hidrofilik
harus dilindungi terhadap uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki
nilai aw atau ERH
yang rendah. Oleh karena itu produk semacam ini harus dikemas dengan
kemasan yang mempunyai permeabilitas air yang rendah. Beberapa kemasan
yang dapat digunakan adalah plastik jenis polipropilen dan aluminium foil.
Penggunaan plastik polipropilen
dikarenakan sifatnya yang
mempunyai nilai permeabilitas
uap air rendah, tahan suhu tinggi sampai dengan 150⁰C, tahan terhadap asam kuat, basa,
dan minyak (Syarief, dkk., 1989). Konstanta permeabilitas
plastik polipropilen adalah sebesar 0,12 gram/m2. (Eskin dan Robinson, 2001
dikutip di dalam Histifarina, 2002) Aluminium foil (alufo) bersifat hermetis,
fleksibel, dan tidak tembus cahaya.
Persamaan Arrhenius dapat dibandingkan persamaan mana yang menunjukkan umur
simpan yang relatif paling singkat. Dari hasil perhitungan untuk suhu
penyimpanan misal 15°C dengan nilai kritis untuk kadar air 19.6%, untuk
kandungan oksigen 20.4%, dan untuk kecerahan 40.29 maka diperoleh waktu penyimpanan
paling singkat adalah 39 hari yaitu dengan persamaan fungsi dari penyerapan
oksigen. Faktor yang paling mempengaruhi umur simpan produk dendeng ini adalah
penyerapan oksigen dan dapat dikatakan faktor yang paling kritis terhadap umur
simpan dendeng sapi giling. Suhu juga
berpengaruh terhadap perubahan mutu dendeng sapi
giling selama penyimpanan. Makin tinggi suhu penyimpanan makin singkat umur
simpan Derkiraan umur simpan (shelf life) suatu
produk merupakan informasi yang sangat diperlukan guna menunjang keamanan dan
kesehatan bagi konsumen di samping menunjang daya saing produk dalam menembus
pasar (Paine, 1962; Quast and Farel, 1972). Weletzho dan
Labuza (1976) menemukan adanya penghambatan laju reaksi pencoklatan
nonenzimatik pada kondisi yang bebas oksigen.
Rahadian (1974) mempelajari cara pengeringan,metode
pengemasan selama penyimpanan, jenis daging sapi ditinjau dari mutu fisik,
kimia, mikrobiologis serta organoleptik. .Penelitian perkiraan umur simpan
dendeng sapi giling akan sangat diperlukan guna membantu produsen untuk
mengetahui masa kadaluwarsa produk yang dipasarkan dan akan memberikan
informasi yang diperlukan dalam pengembangan penelitian lebih lanjut.
Pendekatan yang dilakukan dalam percobaan perkiraan umur simpan adalah dengan
melibatkan faktor-faktor yang dianggap sangat berpengaruh dalam proses
deterioriasi produk seperti faktor peningkatan kadar air, penyerapan oksigen
(O2) dan perubahan warna pada pengolahan pangan setengah
basah.
F.
Kelebihan dan Kekurangan
Pengolahan Produk IMF
1.
Kelebihan
Adapun beberapa kelebihan pengolahan porduk IMF adalah sebagai berikut :
a.
Mempunyai
tekstur yang plastis sehingga
memungkinkan IMF dapat
dibentuk dan dapat
langsung dimakan.
b.
Perkembangbiakan mikroorganisme terhambat.
c.
Tidak memerlukan penyimpanan dingin.
d.
Stabil pada suhu kamar.
e.
Dapat dikemas
lebih ringkas dan mudah dalam distribusi dari satu tempat ke tempat lainnya.
f.
Menghemat ruangan
dan mengurangi biaya dalam penyimpanan.
g.
Tahan lama dan
lebih kuat dari cuaca dingin atau panas.
Salah satu kelebihan atau keuntungan dari pengolahan produk IMF adalah perkembangan mikroorganisme menjadi terhambat maupun tidak terjadi pertumbuhan bakteri, pada nilai aw dibawah 0,85.
Beberapa jenis kapang
dan khamir dapat
tumbuh tetapi khamir patogen tidak
dapat tumbuh pada aw yang rendah
(Tilbury, 1976). Beberapa jenis mikroorganisme yang potensial dapat
tumbuh pada IMF dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai aktivitas air (aw) minimun mikroba yang sering
terdapat pada pangan semi basah
2.
Kekurangan
Adapun kekurangan berupa kerusakan protein pada pengolahan Intermediate
Moisture Meat (IMM) adalah sebagai berikut :
a.
Hidroksiprolin (Aw
0,82-0,86) selama penyimpanan pada suhu 38oC, tekstur juga
terpengaruh.
b.
Hemoprotein (mioglobin dan hemoglobin) mengalami kerusakan pada IMM yang
dibuat dengan metode desorbsi dan
disimpan dapa suhu 38oC.
c.
Dengan adanya gliserol menyebabkan mailard dan menurunkan kemampuan
larut protein.
III.
PEMBAHASAN
A. Produk Pangan Setengah Basah Yang
Berasal Dari Daging
Daging merupakan salah
satu hasil dari ternak yang memiliki kandungan gizi lengkap yang disukai oleh masyarakat. Daging yang dikonsumsi oleh manusia
dapat berasal dari ternak yang berbeda dan dari berbagai jenis hewan,
antara lain sapi, kambing, babi, ayam, itik dan ikan.
Daging merupakan
protein hewani yang lebih mudah dicerna dibanding dengan protein nabati. Protein terdiri dari dua jenis yaitu
protein nabati dan hewani. Salah satu sumber protein hewani adalah daging yang
terdiri dari kumpulan sel berbentuk serat tersusun atas filamen protein yaitu
aktin dan miosin yang disebut juga sebagai jaringan otot seperti yang terlihat
pada gambar 3.
Gambar 3. Protein Penyusun Jaringan
Otot
Sifat fisik daging
memegang peranan penting dalam proses pengolahan dikarenakan sifat fisik
menentukan kualitas serta jenis olahan yang akan dibuat. Sifat fisik sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum pemotongan dan setelah pemotongan. Faktor
penting sebelum pemotongan adalah perlakuan istirahat yang dapat menentukan
tingkat cekaman (stress) pada ternak. Menurut Aberle et al.(2001),
ternak yang tidak diistirahatkan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap,
bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air
tinggi. Faktor penting setelah pemotongan yang berpengaruh pada kualitas daging
adalah pelayuan. Pelayuan daging akan berpengaruh pada keempukan, flavor dan
daya mengikat air. Faktor-faktor tersebut sangat berkaitan dengan waktu postmortem atau
waktu setelah pemotongan.
Proses glikolisis
setelah ternak dipotong berpengaruh pada nilai pH. Semakin lama waktu postmortem akan
terjadi penurunan pH yang semakin rendah akibat proses konversi otot menjadi daging
pada jarak waktu postmortem tertentu. Nilai pH ultimat daging
yang normal berkisar antara 5,4-5,8 pada 6 jam postmortem dan
warna daging akan menjadi merah cerah (Aberle et al., 2001). Perendaman daging segar tidak hanya dapat meningkatkan
kualitas kimiawi, fisik dan sensoris. Alvarado dkk. (2007) mengungkapkan bahwa
perendaman / pengasinan daging yang dilakukan pada pH rendah (pH 4) dapat
menyebabkan fungsi penghambat bakteri patogen yaitu Listeriamonocytogenes
menurut Kamaldeep et al. (2012) merupakan bakteri patogen yang umum ditemukan
pada daging sapi. Selain dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen, perlakuan
daging yang direndam juga dapat meningkatkan kapasitas daya tampung air produk.
Daging ayam petelur afkir merupakan hasil pemotongan
ayam petelur yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Daging ayam petelur afkir
masih kurang di manfaatkan oleh masyarakat karena memiliki sifat daging yang
lebih liat jika dibandingkan dengan daging ayam potong. Hal ini dikarenakan,
seiring dengan meningkatnya umur ternak
maka kadar kolagen di dalamnya akan semakin bertambah (Soeparno, 2005).
Daging ikan
mengandung senyawa yang sangat berguna bagi manusia yaitu protein dalam bentuk
asam-asam amino essensial 10-19%, lemak dalam bentuk asam lemak tidak jenuh
yang paling diperlukan oleh tubuh paling kecil 0,1%, karbohidrat 1-3%, vitamin
dan mineral 0,8-2%.
Daging segar memiliki
kelemahan, yaitu sangat mudah mengalami kerusakan atau busuk
akibat perubahan kimiawi dan kontaminasi mikroba, oleh karena itu
diperlukan berbagai cara/metode pengawetan daging agar daging tidak
mudah mengalami kerusakan dan menjadi busuk. Pengawetan daging secara tradisional telah
lama dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai macam cara teknik pengawetan daging.
Pengawetan daging agar dapat disimpan dalam waktu yang lama dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu restrukturisasi, pengolah produk pangan setengah basah Intermediate Moisture Meat (IMM), serta pengolahan produk dingin beku.
Intermediate Moisture Meat (IMM) merupakan bagian dari IMF dengan bahan baku berasal
dari daging yang memiliki kadar air antara 20-40 % dengan nilai aktivitas
air (aw) 0.6-0.9, serta mempunyai tekstur
yang plastis sehingga memungkinkan
IMF dapat dibentuk
dan dapat langsung dimakan tanpa direhidrasi, tidak memerlukan
penyimpanan dingin, stabil dalam suhu
kamar dan perkembangbiakan mikroorganisme terhambat.
B.
Produk Daging IMF
Beberapa contoh pengolahan
daging menjadi produk pangan setengah basah adalah sebagai berikut :
1.
Abon
Abon merupakan produk
pangan IMF yang berasal dari daging cincang yang telah dihaluskan, dididihkan, dan kemudian digoreng.
Penampilanya biasanya berwarna cokelat terang hingga kehitaman. Abon tampak
seperti serat, karena didominasi oleh serat-serat otot yang mengering. Daging yang biasa
digunakan untuk membuat abon berasal dari sapi, sehingga orang mengenal 'abon
sapi'. Sumber lain yang digunakan adalah ayam atau babi. Pembuatan abon dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Pembuatan Abon
2.
Daging Asap
Daging asap merupakan
produk pangan IMF yang berasal dari irisan daging yang
diawetkan dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras yang
banyak menghasilkan asap dan lambat terbakar. Asap mengandung senyawa fenol dan
formal dehida, masing-masing bersifat bakterisida (membunuh bakteri). Kombinasi
kedua senyawa tersebut juga bersifat fungisida (membunuh kapang). Kedua senyawa
membentuk lapisan mengkilat pada permukaan daging. Panas pembakaran juga
membunuh mikroba, dan menurunkan kadar air daging. Pada kadar air rendah daging
lebih sulit dirusak oleh mikroba. Daging asap dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Daging Asap
3.
Dendeng
Dendeng merupakan salah satu hasil olahan pengawetan
daging secara tradisional yang telah banyak dilakukan masyarakat Indonesia.
Ditinjau dari cara pembuatannya, dendeng dapat dikelompokkan menjadi dendeng
giling dan dendeng sayat.
Dendeng giling adalah daging yang dicetak dalam bentuk
lembaran tipis setelah digiling dan ditambahkan bumbu, gula, garam dan asam.
Sedangkan dendeng sayat adalah dendeng yang dibuat dari daging dengan cara
disayat tipis kemudian dicampur dengan bumbu seperti pada dendeng giling kemudian
dikeringkan. Dendeng sayat dan dendeng giling dapat dilihat pada
gambar 6.
Gambar 6. Dendeng Sayat
dan Dendeng Giling
4.
Blitong
Produk daging
kering yang diasin dan diolah secara tradisional oleh masyarakat Afrika Selatan
dan sekarang telah dikembangkan dalam skala industri. Umumnya dibuat dari urat
daging bagian belakang (hindquarter) ternak yang masih muda, agar produk yang
dihasilkan tidak alot.
Urat daging
tersebut dipotong ukuran 25-30 cm dan garis tengah 5-20 cm, kemudian direndam
dalam air garam dan bumbu (adas, ketumbar, bawang putih dan empon-empon) selama
satu malam atau dibungkus dalam garam kering dengan ukuran 1-2 kg garam untuk
setiap 50 kg daging. Warna daging dipertahankan dengan penambahan gula dan
garam nitrat/nitrit. Biltong mentah kemudian digantung sampai kering, seperti yang terlihat pada gambar 7.
Gambar 7. Blitong
5.
Jerky
Jerky merupakan
produk daging kering yang telah lama dikenal sebagai daging olahan orang-orang
Indian. Produk olahan ini biasanya terbuat dari daging sapi, walaupun juga
dijumpai jerky daging rusa.
Cara pembuatan
jerky adalah dengan memotong daging secara memanjang, kemudian direndam dalam
garam dan dijemur di bawah sinar matahari. Jerky dapat dilihat
pada gambar 8.
Gambar 8. Jerky
6.
Danbunama
Merupakan produk
olahan daging yang tergolong dalam bahan pangan setengah basah yang berasal dari Nigeria bagian timur. Daging yang digunakan berasal dari
daging sapi. Produk olahan daging ini merupakan makan masyarakat Nigeria. Kadar
air danbunama umumnya kurang dari 20%. Proses pembuatan danbunama dengan cara perebusan
daging yang telah dipotong/disayat (seperti irisan empal daging), kemudian
dipukul-pukul dan ditambahkan rempah-rempah. Selanjutnya irisan daging tersebut
dipanaskan/dikeringkan dalam panci. Danbunama dapat
dilihat pada gambar 9.
Gambar 9. Danbunama
7.
Kilishi
Kilishi juga
merupakan produk olahan daging yang masuk kedalam bahan pangan setengah basah yang juga berasal dari Nigeria. Kilishi dapat
dibuat dari daging babi dan daging sapi. Proses pembuatan kilishi hampir sama
dengan pembuatan dendeng sayat tapi yang membedakan adalah selain ditambahkan
bumbu/rempah-rempah, garam, juga ada penambahan pasta kacang tanah pada
kilishi, selanjutnya dikeringkan dibawah sinar matahari. Kadar air kilishi berkisar 9 – 10 %. Pembuatan kilishi terlihat pada gambar 10.
Gambar 10. Klishi
8.
Charqui
Charqui diproduksi
secara tradisional di Amerika Selatan, charqui berbeda dengan biltong karena
kandungan lemaknya tinggi. Charqui dibuat dengan memotong daging sapi dengan
ukuran kecil seperti halnya biltong dan digantung di udara dingin selama 1 jam,
direndam dalam air garam selama 1 jam lagi, dikeringkan, dicelup dalam garang
kering kasar dan ditimbun dalam tumpukan 1-2 m, kemudian ditutup dengan garam
dan dibiarkan selam semalam.
Kemudian tumpukan
itu dibalik setiap 4 hari dan ditutup kembali dengan garam pada setiap
pembalikan. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan menggunakan rak penjemur
yang dihadapkan dengan sinar matahari. Kandungan air charqui kurang lebih 40 %
dan termasuk produk bahan pangan setengah lembab dari daging. Charqui dapat dilihat pada gambar 11.
Gambar 11. Charqui
9.
Pemmican
Pemmican dapat
disamakan dengan biltong dan charqui dari daerah dingin. Pemmican diproduksi
secara tradisional dari kerbau di daerah Arktik di Amerika Utara. Pemmican terdiri dari lapisan-lapisan kecil daging
tanpa lemak (lean meat) yang ditumbuk menjadi halus dan dicampur dengan lemak
dan dikeringkan di bawah sinar matahari dengan atau tanpa ditambah buah-buahan
kering untuk menambah rasa. Pemmican dapat
dilihat pada gambar 12.
Gambar 12. Pemmican
C.
Dendeng
Adapun produk pangan setengah basah yang
akan dibahas pada makalah ini adalah dendeng. Dendeng merupakan bahan pangan semi basah (Intermediate
Moisture Food/IMF) yang mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi, dan tidak terlalu rendah, yaitu pada
kisaran 15-50% (Winarno, 1993). Menurut Soeparno (1988), dendeng merupakan salah satu produk daging kering yang telah banyak dibuat di
Indonesia dan mempunyai masa
simpan lebih dari 6 bulan dengan kadar air kira-kira 15- 20% dan pH 4,5-5,1. Di Indonesia, dendeng biasanya
dibuat dari daging sapi, akan tetapi dapat
juga dibuat dari jenis daging yang lain, seperti ayam, kambing, dan
babi.
Ciri-ciri fisik dendeng yang baik adalah berwarna coklat kehitaman, lembaran daging relatif tipis, tidak
terdapat bercak putih kehijauan
dan masih basah pada permukaannya (Sutaryo dan Mulyani, 2004). Tak hanya di Indonesia, dendeng juga lazim dikonsumsi di
berbagai negara baik di Asia maupun negara-negara lain. Di Amerika produk
pangan yang mirip dengan dendeng adalah beef jerky berasal dari bahasa
Spanyol charqui yang artinya membakar daging. Jerky merupakan produk daging siap
makan yang populer di Amerika Serikat dan dikenal sebagai snack dengan nilai gizi (protein) tinggi,
rendah kalori dengan umur simpan yang lama. Dendeng merupakan
sebutan lokal, yang sudah disesuikan dengan
cita rasa Nusantara. Pada beberapa hasil penelitian menunjukkan perendaman
daging dalam bumbu (marinasi) dapat dilakukan selama 4 jam pada suhu dingin
(4°C), sedangkan menurut Association of American Meat Processors (AAMP),
bahwa pencelupan yang sebenarnya adalah merendam irisan daging dalam campuran
garam, gula, rempah-rempah atau campuran perasa tambahan, pada suhu 4°C selama
12 jam (Whenten, 2004) sehingga memberikan peluang penetrasi rempah-rempah. Sehingga
memberikan rasa yang disukai konsumen tetapi dengan pertumbuhan mikroba yang
dapat ditekan karena perendaman dilakukan pada suhu dingin. Handayani dkk.
(2012) berhasil menemukan penggunaan asap cair 2,5% dengan suhu ruang pada saat
perendaman dalam bumbu dapat menghasilkan dendeng tradisional aman dari cemaran
mikroba patogen sehingga siap santap.
Proses pengeringan pada dendeng dilakukan setelah dendeng
dipipihkan kemudian dendeng dikeringkan dengan menggunakan alat pengering.
Pengeringan dendeng dilakukan untuk mengurangi kadar air yang ada dalam dendeng
sampai cukup rendah, sehingga produk dapat memiliki kadar air tertentu dan
dapat disimpan lebih lama. Karakteristik dendeng yang baik dilihat
dari segi warna yaitu memiliki warna coklat kehitaman. Warna dendeng yang
coklat dan kehitam-hitaman disebabkan oleh reaksi Maillard. Gula
pereduksi (glukosa, fruktosa) yang bereaksi dengan gugus amino pada suhu tinggi
dan water activity rendah akan menimbulkan warna kecoklatan.
Bila gula pasir yang kualitasnya baik dipergunakan pada pembuatan dendeng, maka
warna dendeng kering tidak terlalu coklat atau hitam. Pada umumnya gula yang
dipergunakan adalah gula aren (gula merah) yang pada pembuatannya memang sudah
terjadi reaksi Browning (Cici Rulianti, 2009).
Dendeng giling adalah suatu
produk daging giling yang merupakan emulsi minyak dalam air. Untuk
mempertahankan bentuk emulsi tersebut, maka perlu di tambahkan bahan pengisi.
Jenis bahan pengisi yang biasa digunakan pada pembutan dendeng adalah tepung
berpati. Bahan pengisi digunakan untuk memperbaiki stabilitas emulsi, berfungsi
juga untuk memperbaiki flavour, meningkatkan daya ikat air
sehingga membentuk tekstur yang padat dan kompak, mengurangi pengerutan selama
pemasakan, dan meningkatkan karakteristik produk. Bahan pengisi yang biasa
digunakan adalah tepung terigu, maizena, sagu dan tapioka (Cici
Rulianti, 2009).
Di Indonesia proses pembuatan
dendeng kebanyakan dilakukan dengan metode tradisional, beberapa keuntungan
diantaranya mudah dilakukan dan murah, karena energi panasnya didapat dari
sinar matahari. Namun dengan berkembangnya zaman beberapa teknologi di
manfaatkan dalam proses pembuatan dendeng agar dapat mempersingkat waktu
pembuatan yaitu pengeringan dengan cara di oven. Tingkat keamanan yang diinginkan yang tinggi ini sangat berbeda dengan kondisi yang terjadi
di beberapa usaha pengolahan daging, namun Indonesia telah menetapkan syarat
mutu dendeng sapi berdasarkan (SNI )
yang dapat dilihat pada tabel 2, dibawah ini.
Tabel 2. Syarat Mutu Dendeng berdasarkan SNI 01-2908-1992
1.
Dendeng Sapi
Dendeng sapi adalah dendeng dengan bahan utama adalah daging sapi. Dendeng
sapi siap makan dengan kualitas terbaik diperoleh waktu perendaman minimal 4
jam dengan kriteria: kadar air (11,77%), kadar abu (4,66%), kadar protein
(48,54%) dan pH (5,5) dengan ciri tekstur yang agak lembut, warna coklat tua,
aromaterapi agak berasap menyebabkan rasa dendeng yang agak kuat. selain
perendaman selama 4 jam menghasilkan kandungan total mikroba, jumlah kapang dan
koliform pada tingkat yang aman untuk dikonsumsi.
Pengolahan dendeng secara tradisional memiliki beberapa kelemahan antara
lain kebersihan bahan makanan yang tidak terjamin. Proses pengeringan dan
pengemasan dendeng yang dijual di pasaran oleh beberapa industri tradisional
memungkinkan tejadinya cemaran oleh mikroorganisme. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Nummer et al. (2004) bahwa pengolahan dan pengolahan dendeng
tradisional tidak cukup mengeringkan jumlah mikroba patogen seperti Escherichia
coliO157, Salmonella, Staphylococcus aureus dan Listeria monocytogenes.
Jo dkk. (2004) dan Bjorkroth (2005) menegaskan bahwa pengendalian jumlah
mikroba pada produk olahan berbahan baku daging sangat penting bagi semua unit
usaha pengolahan daging. Saritha dkk. (2007) dan Guilbaud et al. (2008) melaporkan bahwa ekstrak asap cair memiliki
ketahanan yang sangat baik terhadap Listeria monocytogenes.
Menurut Margono (2000), pengeringan dendeng sapi giling dengan menggunakan oven dilakukan pada suhu 50 - 600C
selama 4 - 6 jam. Komposisi daging sapi dan dendeng sapi tiap 100 gram
bahan dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Komposisi daging sapi dan dendeng sapi tiap
100 gram bahan
2.
Dendeng Ayam
Salah
satu cara pemanfaatan daging ayam petelur afkir yang dapat dilakukan adalah dengan
mengolahnya menjadi dendeng giling. Hal ini dikarenakan dalam proses pembuatan dendeng
giling, dilakukan proses penghancuran daging, akan tetapi tidakmenjadi bentuk
yang terlalu halus. Pemanfaatan daging ayam petelur afkir menjadi produk
dendeng giling ini memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan mengolahnya
menjadi produk yang lain, antara lain memiliki rasa yang khas, memiliki umur
simpan yang panjang dan dapat bertahan meskipun tidak disimpan dalam lemari
pendingin (refrigerator).
Permasalahan
yang timbul dalam pembuatan dendeng giling ayam petelur afkir ini adalah warna
yang dihasilkan dari dendeng ini menjadi lebih tidak menarik karena warnanya
menjadi lebih pucat dibandingkan dengan dendeng sapi yang berwarna merah. Oleh
karena itu perlu dilakukan penambahan suatu bahan yang dapat membantu
memperbaiki warna serta menambah cita rasa dari dendeng ayam petelur afkir.
Gula maupun kecap manis merupakan bahan yang sangat dibutuhkan dalam pembuatan
dendeng yang dapat membantu memberikan warna pada dendeng, serta memiliki kemampuan
menurunkan Aw dan kadar air. Setiap jenis gula memiliki kekhasan
tersendiri dalam hal warna, aroma, dan rasa. Oleh karena itu gula dapat
digunakan sebagai suatu bahan yang dapat membantu untuk memperbaiki warna dan
rasa dari dendeng giling yang akan dibuat. Pemilihan jenis gula tersebut berdasarkan pada karakteristik dari
masing-masing gula, dimana tiap jenis gula yang digunakan memiliki warna dan
aroma yang khas, serta memiliki kemampuan yang berbeda dalam menurunkan aw dan
kadar air, sedangkan pemilihan konsentrasi gula didasarkan pada konsentrasi minimal
gula untuk menurunkan aw dan kadar air, yaitu diatas 40%.
3.
Dendeng Ikan
Dalam upaya penganekaragaman
makanan yang bergizi serta mempertahankan daya simpan ikan dan
peningkatan nilai ekonomis ikan juga dapat diolah menjadi dendeng. Dendeng ikan merupakan salah satu produk olahan ikan tradisional
dengan cara pengeringan dan digolongkan sebagai bahan pengan semi basah. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang
banyak dikonsumsi masyarakat, mudah didapat, dan harganya relatif murah. Namun
ikan cepat mengalami proses pembusukan. Oleh sebab itu pengawetan ikan perlu
diketahui semua lapisan masyarakat.
Bahan baku utama dendeng ikan
adalah ikan mengandung protein tinggi. Bahan baku tambahan yang diperlukan
adalah tepung tapioka, gula merah, garam, ketumbar, bawang merah, bawang putih,
asam jawa, dan lengkuas. Menurut Handayani (2003), warna khas yang terbentuk pada produk dendeng (coklat
tua atau coklat kehitaman) merupakan warna yang dikehendaki. Warna coklat pada
dendeng ikan lele dumbo giling terbentuk karena adanya proses pemanasan atau
pemanggangan, selain proses karamelisasi juga dipengaruhi oleh reaksi maillard. Menurut Inayati, dkk.
(2019) diversifikasi pangan berupa dendeng ikan gabus giling dengan penambahan
tapioka dan penggunaan suhu pengeringan yang optimum diharapkan dapat
meningkatkan nilai gizi, serta menghasilkan warna, aroma, dan rasa yang lebih
menarik.
D.
Proses Pengolahan Dendeng
Adapun alat dan bahan
serta proses proses pembuatan dendeng adalah sebagai berikut :
1.
Alat dan Bahan
Ø Alat yang digunakan yaitu :
a)
Freezer untuk menyimpan daging
b)
Mesin penyayat daging (Slicer 250 FS - 10) atau pisau
(stainless steel) untuk menyayat daging.
c)
Alat penggiling bumbu
d)
Timbangan untuk menimbang bahan baku, bahan tambahan, dan
dendeng yang akan dikemas.
e)
Wadah/baskom untuk perendaman daging.
f)
Wadah/tampah untuk pengeringan dendeng.
g)
Oven (dapat juga dijemur dibawah sinar matahari)
h)
Plastic sealer atau plastik vakum steril untuk mengemas
dendeng.
i)
Mesin vakum makanan
Ø Bahan Utama
-
1 Kg daging sapi
Ø Bahan Bumbu
a)
8 siung bawang putih yang
sudah dikupas.
b)
100 gram ketumbar (ditumbuk
kasar)
c)
2 ruas jari lengkuas
d)
4 buah cabai merah (sesuai
selera) yang sudah diulek kasar
e)
½ sendok makan asam jawa
f)
1 sendok teh merica bubuk.
g)
300 gram gula merah.
h)
Kecap manis secekupnya
sesuai selesai (untuk tambahan rasa manis)
i)
1 sendok makan garam
j)
2 sendok makan tepung
maizena (pengikat)
2.
Cara Membuat
Ditinjau dari cara pembuatannya, dendeng disajikan dalam
dua bentuk yaitu dendeng sayat dan dendeng giling. Menurut sebagian orang
dendeng sayat mempunyai rasa yang lebih lezat dibandingkan dendeng giling. Adapun cara pembuatan
dendeng secara rinci adalah sebagai berikut :
a.
Dendeng Sayat
1)
Pertama
daging sapi disayat tipis-tipis
agar lebih mudah dipotong masukkan daging kedalam freezer sampai daging agak
kaku dan mudah dipotong, usahakan
pada saat memotong daging melawan arah serat daging agar nanti saat dimasak
daging tidak mudah hancur dan lebih mudah empuk. Kemudian letakan dalam wadah/baskom
2)
Kemudian
haluskan semua bumbu, untuk
ketumbar dan cabe dapat ditumbuk kasar atau sesuai selera.
3)
Lumuri/rendam daging yang sudah disayat dengan bumbu yang sudah disiapkan, dan biarkan minimal
selama 4 jam didalam lemari pendingin atau suhu sekitar
4⁰C agar bumbu dapat meresap secara maksimal ke seluruh bagian
daging.
4)
Setelah itu proses pengeringan, letakan daging pada
wadah /tampah yang sudah disiapkan. Pengeringan daging dapat menggunakan oven (suhu 50 - 600C selama 4-6 jam) terlihat pada gambar 13 atau
dibawah sinar matahari (3-5
hari) atau sesuai jenis daging dan cara pengeringan, sampai daging benar – benar kering secara merata dan tidak
memiliki kandungan air lagi.
Jangan lupa untuk membalikan dendeng
tersebut agar kedua sisi matang secara merata.
5)
Setelah
dendeng sapi kering, dinginkan
dengan suhu ruang sampai benar-benar dingin agar tidak ada
uap air yang muncul pada saat pengemasan.
6)
Agar
dendeng lebih tahan lama pengemasan menggunakan plastik steril dan kemudian di
vakum menggunakan mesin vakum makanan untuk mengeluarkan seluruh udara karena
paparan udara dapat mempengaruhi kesegaran dan daya simpan dendeng.
Gambar 13. Proses Pengeringan Daging Menggunakan Oven
b. Dendeng Giling
1)
Pembuatan dendeng giling dapat menggunakan potongan daging
yang kecil/tidak beraturan kemudian bisa digiling.
2)
Haluskan semua bumbu (untuk ketumbar dan cabe dapat ditumbuk kasar atau sesuai selera)
3)
Campur
daging giling dengan
bumbu yang sudah disiapkan, dan biarkan minimal
selama 4 jam didalam lemari pendingin atau suhu sekitar
4⁰C agar
bumbu dapat meresap secara maksimal ke seluruh bagian daging.
4)
Setelah
itu letakan campuran daging giling pada wadah/nampah dan tipis-tipiskan dengan
ketebalan kurang lebih 2-3 mm sehingga berbentuk tembaran.
5)
Setelah itu proses pengeringan, pengeringan daging dapat
menggunakan oven (50⁰C selama 2 jam) atau dibawah sinar matahari (2-3
hari) sehingga menghasilkan dendeng setengah matang agar dendeng lebih mudah
dipotong, seperti yang terlihat pada gambar 14.
6)
Potong
lembaran dendeng sesuai selera sehingga akan didapat potongan-potongan dendeng.
7)
Setelah
dipotong proses pengeringan terakhir
dapat menggunakan oven (60⁰C selama 2-4 jam) atau dibawah sinar matahari selama
2-3 hari sampai daging benar – benar
kering secara merata dan tidak memiliki kandungan air lagi. Jangan lupa untuk membalikan dendeng tersebut agar kedua sisi
matang secara merata.
8) Proses pengemasan dendeng giling sama dengan pengemasan dendeng
sayat.
Gambar
14. Proses Pemotongan Dendeng Giling
E.
Masa Simpan Dendeng
Untuk memaksimalkan kualitas dan kesegaran dendeng, simpan dendeng
di
tempat yang sejuk dan kering. Penyimpanan pada suhu ruang
dapat bertahan selama maksimal 2 minggu namun apabila dikemas dengan
menggunakan mesin vakum dendeng dapat bertahan disuhu seruang selama 1 – 4 bulan, di dalam kulkas
(suhu 4 - 6⁰C) selama 3 - 6 bulan, atau di
dalam freezer selama maksimal 1 tahun. Lamanya
penyimpanan dendeng juga dipengaruhi oleh cara handling pada setiap
proses pembuatan dendeng, sehingga pengerjaan yang bersih dapat memperpanjang
lama penyimpanan dendeng. Kapan pun ingin
mengonsumsi dendeng, cukup buka wadah dan ambil porsi secukupnya, seiring berjalannya waktu,
paparan udara dapat menyebabkan mikroorganisme
berkembangbiak dan mengurangi kesegaran dendeng.
Faktor yang paling mempengaruhi umur simpan produk
dendeng ini adalah penyerapan oksigen dan dapat dikatakan faktor yang paling
kritis terhadap umur simpan dendeng sapi giling. Suhu juga berpengaruh terhadap perubahan mutu dendeng sapi
selama penyimpanan. Makin tinggi suhu penyimpanan makin singkat umur simpan. Perkiraan umur simpan (shelf life)
suatu produk merupakan informasi yang sangat diperlukan guna menunjang keamanan
dan kesehatan bagi konsumen di samping menunjang daya saing produk dalam
menembus pasar (Paine, 1962; Quast and Farel, 1972). Dendeng yang
sudah dikemas dapat dilihat pada gambar 15 dibawah ini.
Gambat 15.
Dendeng Sapi Dalam Kemasan
BAB IV. KESIMPULAN
1. Daging mudah sekali
mengalami kerusakan mikrobiologi karena kandungan gizi dan kadar airnya yang
tinggi, serta banyak mengandung vitamin dan mineral, sehingga
diperlukan suatu treatment untuk menghambat perkembangbiakan mikroorganisme
salah satunya adalah menurunkan kadar air yang terdapat pada daging dan dapat
disimpan di suhu kamar yang dikenal dengan istilah produk pangan setengah basah
atau Intermediate Moisture Food (IMF).
2. Bahan
pangan setengah basah yang berasal dari daging merupakan bagian dari kelompok
bahan pangan setengah basah yang dikenal dengan istilah Intermediate
Moisture Meat (IMM).
3.
Berdasarkan cara pengolahannya IMF modern
dibagi lagi menjadi tiga tipe, yaitu dengan cara pencelupan basah (moist
infution), pencelupan kering (dry infution), serta pencampuran (blending)
sehingga mencapai aw produk yang
diinginkan serta dengan nilai aw tertentu.
4.
Senyawa higroskopik yang dapat digunakan
sebagai humektan yaitu garam, gula, poliol (sorbitol dan gliserol) dan turunan protein (pati dan lain-lain).
5.
Beberapa kelebihan pengolahan porduk setengah
basah yaitu mempunyai
tekstur yang plastis sehingga
memungkinkan untuk langsung dimakan, perkembangbiakan mikroorganisme terhambat, tidak memerlukan
penyimpanan dingin, stabil pada suhu kamar, dapat
dikemas lebih ringkas dan mudah dalam distribusi dari satu tempat ke tempat
lainnya, menghemat ruangan dan mengurangi biaya dalam penyimpanan, tahan lama
dan lebih kuat dari cuaca dingin atau panas.
6.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya
simpan suatu produk pangan setengah basah yaitu interaksi antar
komponen dalam sistem pangan
tersebut, proses produksi yang
digunakan, permeabilitas kemasan
terhadap cahaya, kelembaban
(air), dan gas (oksigen dll), disribusi antara waktu dan
suhu pada saat penyimpanan dan transportasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M., (1982), Aktivitas air dan Kerusakan
Bahan Makanan, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, Yogyakarta.
Alamsyah Rizal, Putiati Mahdar, Muliandi. 1995. Pendugaan
Umur Simpan Dendeng Sapi Giling Dengan Aplikas Kinetika Arrhenius, Journal of
Agro-based Industry, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Vol. 12, No.
1-2, pp. 5-8, 1995.
Cici, R., (2009), Pengaruh
Penambahan Tapioka dan Suhu Pengeringan terhadap Karakteristik Dendeng
Belut (Monoterus albus) Giling, Tugas Akhir, Program Sarjana, Jurusan
Teknologi Pangan-UNPAS, Bandung.
deMan, J. M. 1989. Kimia
Makanan. Kosasih Padmawinata, penerjemah. Penerbit ITB, Bandung.
Halimah E, (1997), Pengaruh
Konsentrasi Gula dan Suhu Pembakaran Terhadap Mutu Dendeng Bakar Daging Sapi,
Tugas Akhir, Teknologi Pangan, UNPAS.
Harry, Susana Serlince., Bastari Sabtu, dan Gemini E. M. Malelak. 2019. Kualitas Dendeng Giling Ayam Afkir Yang Diberi
Campuran Jantung Pisang dan Kelapa Parut. Journal of Tropical Animal Science
and Technology: 1 (1), Juli 2019
Inayati, Devi dkk. 2019. Karakteristik Fisikokimia,
Organoleptik Dendeng Ikan Gabus (Channa Striata ) Dengan Variasi
Jenis Tepung. Jurnal Universitas Semarang.
Komariah, Sri Rahayu,
dan Sarjito.
2009. Sifat Fisik Daging Sapi, Kerbau dan Domba pada
Lama Postmortem Yang Berbeda. Buletin Peternakan IPB Vol. 33(3): 183-189,
Oktober 2009
LI, Tiancheng., Peng Zhou, dan Theodore P. Labuza. 2009. Effect of Sucrose Crystallization and Moisture Migration on the
Structural Changes of a Coated Intermediate Moisture Food. International
Journal Chem, Eng, China Vol. 3 No. 4 (346).
Muliandi,
(1994), Aplikasai Kinetika Untuk Pendugaan Umur Simpan Dendeng Sapi Giling, Fakultas
Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Nopwinyuwong, Atchareeya., Sudsai Trevanich, dan Panuwat Suppakul.
2010. Development of A Novel Colorimetric Indicator Label for Monitoring
Freshness of Intrmediate-Moisture Dessert Spoilage. Journal of
Talanta 81, 2010 (1127).
Setyaningtyas, Anggraeni Gigih. 2008. Formulasi Produk Pangan Darurat Berbasis Tepung Ubi Jalar, Tepung Pisang,
Dan Tepung Kacang Hijau Menggunakan
Teknologi Intermediate Moisture Foods (IMF). Skripsi Fakultas Teknologi
Pertanian IPB, Bogor
Sudarmanto, 1999. Granula Pati Tersusun Atas Amilosa. Penerbit
Bharata Karya Aksara, Jakarta.
Soeparno, (1992), Ilmu
dan Teknologi Daging, Fakultas Peternakan, UGM, Yogyakarta.
Soekarto S.
T. 1979. Air
Ikatan, Penetapan Kuantitatif
dan Penerapannya pada Stabilitas Pangan
dan Disain Pangan
Semi Basah. Departemen Teknologi Hasil Pertanian
Fatemeta IPB, Bogor.
Winarno F.G., 1997. Kimia
Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar